TRANSFORMASI KEILMUAN PESANTREN DAN PENGUATAN KITAB KUNING: PERAN KH. KHOER AFFANDI DAN INOVASI “KITAB KUNING METODE IRFANI” DI PESANTREN RAUDHATUL IRFAN CIAMIS
Penulis: Irfan Soleh
Tradisi kitab kuning telah lama menjadi identitas epistemologis utama pesantren di Indonesia. Sejak ratusan tahun, kitab-kitab turats menjadi fondasi transmisi keilmuan Islam dan membentuk karakter keulamaan Nusantara. Namun perkembangan global, dinamika masyarakat modern, dan tuntutan pedagogis generasi baru menantang pesantren untuk tidak berhenti pada pola pengajaran tradisional. Pesantren harus mampu melakukan transformasi metodologis dan epistemologis tanpa kehilangan akar tradisi yang telah mengokohkannya selama berabad-abad. Di tengah gelombang perubahan inilah muncul pertanyaan penting: bagaimana pesantren dapat tetap setia pada tradisi kitab kuning sekaligus hadir sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu bersaing secara global?
Pesantren sejak lama menampilkan karakter unik sebagai lembaga pendidikan Islam yang fleksibel namun kokoh memegang tradisi. Sorogan, wetonan, dan bandongan menjadi metode yang membentuk generasi ulama Nusantara. Akan tetapi, perkembangan sosial menuntut adanya inovasi sehingga kitab kuning tidak hanya dipelajari sebagai teks klasik, melainkan menjadi ilmu yang dapat diakses oleh generasi digital yang berpikir cepat, visual, dan sistematis. Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren merespons perubahan ini dengan menginisiasi program Penguatan Kitab Kuning, sebuah upaya untuk memastikan bahwa turats tidak hanya dipertahankan tetapi ditransformasikan melalui kurikulum yang relevan, peningkatan profesionalitas pengajar, serta penggunaan metode pembelajaran yang lebih modern. Agenda ini membuka ruang kreatif bagi pesantren untuk melahirkan model pembelajaran baru yang tetap berpijak pada tradisi.
Tradisi keilmuan pesantren Priangan Timur tidak dapat dilepaskan dari kiprah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya dan jejaring alumninya. Di pesantren inilah KH. Khoer Affandi, sosok ulama kharismatik sekaligus maestro Ilmu Tauhid, memberikan kontribusi penting terhadap tradisi pengajaran kitab kuning di Jawa Barat. Beliau tidak hanya mengajarkan turats, tetapi juga mengonstruksinya kembali dalam bentuk nadzom berbahasa Sunda yang sarat nilai pedagogis dan kultural. Nadzom Syahadataen, Nadzom Aqoid Iman, Majmu’atul Aqidah, Taodeh Tijan, serta berbagai karya lainnya bukan sekadar ringkasan ilmu kalam, melainkan upaya kreatif untuk mendekatkan ajaran aqidah kepada santri melalui bahasa dan pola pikir lokal. Strategi ini mencerminkan kemampuan KH. Khoer Affandi dalam memadukan tradisi klasik dan konteks kekinian, sehingga keilmuan pesantren tetap hidup dalam ruang budaya masyarakat Sunda.
Jejak transformasi yang ditanamkan KH. Khoer Affandi kemudian berkembang di banyak pesantren alumni, salah satunya Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis. Pada era kontemporer ketika akses ilmu tidak lagi terbatasi ruang, pesantren ini merespons tantangan zaman dengan melahirkan inovasi pembelajaran yang dikenal sebagai Kitab Kuning Metode Irfani. Inovasi ini bukan sekadar terjemahan kitab ke bahasa Inggris, melainkan sebuah pendekatan komprehensif untuk membawa turats ke panggung global. Teks Arab tetap dipertahankan, namun disandingkan dengan terjemahan kata per kata, penjelasan konseptual dalam bahasa Inggris, serta penataan sistematis yang memudahkan santri maupun pembelajar internasional memahami struktur ilmu alat, fiqih, aqidah, dan tasawuf.
Penerjemahan kitab-kitab seperti Safinah, Taqrib, Jauhar Tauhid, Tijan Darori, Hidayatul Adzkiya, Jurumiyah, hingga Alfiyah ke dalam bahasa Inggris menjadi bukti bahwa tradisi pesantren mampu keluar dari batas geografisnya. Kitab Kuning Metode Irfani memberikan peluang besar bagi turats Nusantara untuk dipelajari oleh berbagai kalangan di luar Indonesia. Lebih dari itu, model ini menghadirkan pendekatan pedagogis yang selaras dengan gaya belajar generasi digital yang membutuhkan materi ringkas, terstruktur, terstandar, dan mudah dipelajari secara mandiri. Pada titik ini, Metode Irfani tidak hanya menjadi inovasi teknis, tetapi juga transformasi epistemologis yang menjadikan kitab kuning sebagai literatur global.
Transformasi semacam ini dapat dipahami dalam kerangka neo-traditionalisme yang dikemukakan oleh Azra dan diperkuat oleh berbagai peneliti pesantren. Neo-traditionalisme menempatkan tradisi bukan sebagai beban, melainkan sebagai fondasi untuk menciptakan pembaharuan. Pesantren tidak kehilangan keaslian keilmuannya karena tetap mempertahankan teks Arab klasik, struktur ilmu alat, serta filosofi turats. Namun pesantren juga tidak berhenti pada pola lama; ia bergerak, beradaptasi, dan mengekspansikan diri melalui inovasi metodologis dan penggunaan bahasa internasional. Inilah wajah baru pesantren yang tidak meninggalkan masa lalu tetapi menyapa masa depan dengan percaya diri.
Transformasi keilmuan melalui Metode Irfani sekaligus memperkuat arah kebijakan Direktorat Jenderal Pesantren yang menekankan pada pelestarian kitab kuning bersamaan dengan inovasi pedagogis. Ketika buku-buku turats disusun dalam format yang lebih sistematis, diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan diperkaya dengan syarah ringkas yang mudah dipahami, maka kitab kuning tidak lagi dipandang sebagai literatur sulit yang hanya dapat diakses oleh santri tradisional, tetapi menjadi sumber ilmu yang dapat diakses anak muda, peneliti, maupun masyarakat dunia yang ingin memahami khazanah Islam Nusantara.
Dengan demikian, transformasi keilmuan pesantren adalah proses terus menerus untuk mempertahankan otoritas tradisi sambil mengembangkan metodologi yang inovatif. KH. Khoer Affandi memberikan fondasi pedagogis melalui nadzom-nadzom Sunda yang memudahkan internalisasi ilmu kalam, sedangkan Pesantren Raudhatul Irfan memajukan transformasi tersebut melalui internasionalisasi kitab kuning. Keduanya memperlihatkan bahwa tradisi dan inovasi bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua kekuatan yang saling menguatkan dalam menghidupkan keilmuan pesantren. Melalui Metode Irfani, kitab kuning tidak hanya tetap hidup di ruang-ruang pesantren, tetapi juga berpeluang menjadi bagian dari percakapan global tentang Islam, pendidikan, dan pengetahuan tradisional Nusantara.
Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 20 November 2025
.png)
0 Komentar