Tiga Jalan Melapangkan Hati: Dzikir, Kebersamaan dengan Orang Shalih, dan Hikmah Para Bijak

Penulis: Irfan Soleh


Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah lepas dari kegundahan. Tekanan hidup, beban pekerjaan, beban akademik bagi yang masih kuliah, urusan keluarga, dan berbagai ujian yang menimpa sering kali membuat hati sempit dan pikiran terasa kusut. Kegundahan itu kadang datang tiba-tiba tanpa sebab yang jelas, dan kadang pula muncul dari akumulasi persoalan kecil yang terus menumpuk. Catatan dalam pengajian bulanan edisi sabtu 15 November 2025 Alumni Raudhatul Irfan ini berusaha mengurai kegundahan itu melalui panduan para ulama. Dalam suasana hati yang gelisah, manusia sering bertanya kepada dirinya sendiri: ke mana harus berlari? Kepada siapa harus mengadu agar hati kembali lapang dan jiwa menemukan ketenangan?


Kitab klasik Nashoihul ‘Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani memberikan jawaban spiritual yang sangat lembut dan dalam. Di dalamnya dijelaskan bahwa ada tiga jalan yang dapat melapangkan kegundahan dan melenyapkan kesusahan: berdzikir kepada Allah, mendatangi para wali Allah dari kalangan ulama dan orang-orang shalih, serta mendengarkan petuah orang-orang bijak. Ketiga hal ini bukan sekadar anjuran moral, melainkan peta perjalanan ruhani yang telah dilewati oleh para salihin sejak zaman Rasulullah ﷺ hingga generasi ulama muta’akhirin. Bagi para alumni Raudhatul Irfan yang kini tersebar—ada yang sedang menempuh kuliah di berbagai kampus, ada yang mulai bekerja sambil menapaki karier, dan ada pula yang sedang mencari arah sebelum kuliah atau bekerja—tiga jalan ini menjadi sangat relevan sebagai pegangan hidup.


Dzikir kepada Allah adalah pintu pertama yang membuka ketenangan hati. Al-Qur’an menegaskan, “Ala bidzikrillahi tathma’innul qulub” — “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (QS. ar-Ra’d: 28). Ayat ini bukan sekadar kalimat puitis, tetapi formula spiritual yang telah diuji lintas zaman. Para alumni yang tengah kuliah sering merasakan tekanan tugas, kecemasan menghadapi masa depan, atau kebingungan memilih arah kehidupan. Mereka yang sudah bekerja juga tak lepas dari beban pekerjaan, konflik di tempat kerja, atau tuntutan keluarga. Sedangkan mereka yang belum kuliah atau belum bekerja kadang dirundung perasaan kurang percaya diri atau kebingungan menentukan pilihan. Dalam semua kondisi ini, dzikir memberikan landasan ketenangan yang mendalam. Ketika manusia berdzikir, ia menghadirkan Zat Yang Maha Menguasai segala urusan dalam hatinya. Rasa takut larut karena ia bersandar kepada Yang Maha Perkasa, dan rasa sedih sirna karena ia dekat dengan Yang Maha Pengasih.


Rasulullah ﷺ menegaskan keutamaan dzikir dengan sabdanya, “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan yang tidak berdzikir kepada-Nya seperti orang hidup dan orang mati” (HR. Bukhari). Dengan kata lain, dzikir adalah kehidupan bagi hati. Seorang alumni yang sedang menghadapi kecemasan akademik atau tekanan pekerjaan akan merasakan bedanya antara hari yang ia lalui dengan dzikir dan hari yang ia lalui tanpa ingatan kepada Allah. Imam al-Ghazali memperdalam konsep ini dengan ucapannya, “La yastawil ‘abdu ma’Allahi hatta yastawi dzikruhu fii qalbihi” — “Hamba tidak akan dekat kepada Allah sampai dzikir itu menetap dalam hatinya.” Ketika dzikir sudah menjadi denyut kesadaran, maka persoalan hidup tak lagi menakutkan.


Jalan kedua yang dijelaskan oleh Imam Nawawi al-Bantani adalah menemui para wali Allah dari kalangan ulama dan orang-orang shalih. Kebersamaan dengan mereka membawa ketenangan karena hati yang bersih memancarkan ketenangan kepada sekitar. Allah berfirman dalam QS. at-Tawbah ayat 119, “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang benar.” Ini menjadi dalil pentingnya terus menjaga kedekatan dengan para guru, ulama pesantren, dan orang-orang yang istiqamah dalam kebaikan.


Bagi para alumni Raudhatul Irfan, contoh konkretnya adalah tetap menjalin hubungan dengan para asatidz, kiai, dan pembina yang dahulu membimbing di pesantren. Alumni yang sedang kuliah sering merasakan bahwa lingkungan kampus—meski penuh ilmu—tidak selalu memberi keteduhan spiritual. Berkunjung kembali ke pesantren, sowan kepada guru, menghadiri majelis ilmu, atau hanya sekadar duduk mendengarkan nasihat seorang kiai dapat mengembalikan ketenangan yang hilang. Alumni yang bekerja pun demikian; kesibukan dunia kerja sering membuat hati keras dan pikiran terfokus pada materi. Sesekali kembali ke lingkungan orang-orang shalih adalah ibarat men-charge ulang ruhani yang mulai lemah. Bahkan bagi alumni yang masih mencari arah hidup, duduk bersama guru yang shalih dapat memberikan pencerahan dan keberanian untuk melangkah.


Rasulullah ﷺ mengumpamakan pentingnya berteman dengan orang baik: “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk seperti penjual parfum dan pandai besi…” (HR. Bukhari dan Muslim). Meski tidak membeli parfum sekalipun, seseorang akan tetap mendapatkan wanginya. Begitu pula keberkahan duduk bersama orang shalih sering kali cukup untuk menentramkan hati. Ibn ‘Ataillah pernah menulis dalam al-Hikam: “La tashhab man la yunhiduKa haluhu wa la yadulluKa ‘ala Allah maqaluhu.” “Jangan bersahabat dengan orang yang keadaannya tidak membangkitkanmu kepada Allah dan ucapannya tidak menunjukkanmu kepada-Nya.”


Jalan ketiga adalah mendengarkan petuah orang-orang bijak. Ilmu adalah cahaya, dan nasihat yang tulus adalah lentera bagi mereka yang sedang kebingungan. Banyak alumni yang sedang kuliah membutuhkan nasihat tentang bagaimana bersikap sabar menghadapi hambatan studi, bagaimana membangun orientasi hidup, dan bagaimana menyeimbangkan dunia–akhirat. Alumni yang bekerja pun memerlukan petuah tentang integritas, etika, dan ketangguhan. Sedangkan yang belum kuliah atau bekerja membutuhkan dorongan mental agar tidak merasa tertinggal atau rendah diri.


Al-Qur’an menggambarkan keutamaan ilmu dalam QS. az-Zumar ayat 9, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Bahkan Allah memuji mereka yang mau mendengarkan nasihat kemudian mengikuti yang paling baik: “Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah dan mereka itulah orang-orang berakal” (QS. az-Zumar: 18). Hadis Nabi ﷺ menegaskan, “Ad-dīnu an-nashīhah” — “Agama adalah nasihat” (HR. Muslim). Nasihat yang benar dapat meluruhkan kegelisahan karena mengubah cara pandang seseorang terhadap masalah yang dihadapi. Petuah yang datang dari hati yang ikhlas akan masuk dengan lembut ke dalam hati pendengarnya, termasuk hati para alumni yang sedang menempuh jalan hidup masing-masing.


Ketiga jalan ini—dzikir, bertemu orang shalih, serta mendengarkan nasihat bijak—saling menguatkan satu sama lain. Dzikir menenangkan batin dari dalam, kebersamaan dengan orang shalih menenangkan suasana di sekitar, sedangkan petuah orang bijak menenangkan cara berpikir. Para alumni Raudhatul Irfan yang sedang berada di berbagai fase kehidupan sangat membutuhkan ketiga obat hati ini agar tetap teguh menghadapi ujian hidup. Pada akhirnya, kegundahan adalah bagian dari perjalanan hidup. Namun agama mengajarkan bahwa kegundahan bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dilampaui. Dengan dzikir hati menjadi hidup, dengan bersahabat dengan orang shalih jiwa menjadi kuat, dan dengan petuah orang bijak akal menjadi terang. Inilah warisan hikmah para ulama yang akan selalu membimbing alumni Raudhatul Irfan agar tetap tegar berjalan menuju Allah, Tuhan Yang Maha Melapangkan setiap kesempitan.


Pesantren Raudhatul Irfan, 16 November 2025