Tafsir Quranicpreneur QS Yunus Ayat 88: Doa Kepemimpinan, Strategi Perubahan, dan Psikologi Ikhtiar

Penulis: Irfan Soleh


Dalam dinamika perjalanan perubahan sosial dan ekonomi, ada satu doa yang kerap luput dari perhatian para pegiat kemandirian umat: doa Nabi Musa dalam QS Yunus ayat 88. Ayat ini bukan sekadar keluhan seorang nabi kepada Tuhan, tetapi strategi transformatif yang mengandung pelajaran bagi siapa pun yang ingin menggerakkan perubahan, termasuk para quranicpreneur—wirausahawan yang menapakkan langkah bisnis dengan nilai-nilai Qur’an. Nabi Musa berdoa tentang struktur kekuasaan, tentang monopoli ekonomi, tentang mentalitas masyarakat, dan tentang komitmen membangun sistem alternatif. Bagaimana mungkin satu doa singkat mampu merumuskan seluruh problem struktural umat dan sekaligus memberikan peta jalan keluar yang nyata?


Ayat 88 berbunyi:

﴿وَقَالَ مُوسَىٰ رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ ۖ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَىٰ أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ﴾

Nabi Musa memulai dengan mengakui bahwa Allah sendiri memberi Firaun dan elitnya zīnah berupa kemegahan, citra, dan simbol status, serta amwāl berupa modal dan harta. Ini adalah metode Qur’ani mengajarkan bahwa kekayaan bukan hanya milik orang saleh; kekuasaan ekonomi bisa diamanahkan kepada siapa pun sebagai ujian. Namun Nabi Musa juga mengidentifikasi dampaknya: harta dan citra itu dipakai sebagai alat menyesatkan masyarakat, menciptakan hierarki, dan membangun ilusi bahwa Firaun adalah satu-satunya sumber keberlangsungan hidup. Untuk seorang quranicpreneur, pengakuan Nabi Musa ini adalah refleksi awal bahwa struktur ekonomi kadang terlanjur dikuasai oligarki dan simbol-simbol kemewahan sering dipakai sebagai alat hegemoni. Doa Nabi Musa adalah analisis sosial yang memetakan masalah berupa eksploitasi, propaganda, ketergantungan, dan penghambaan modern pada kekuatan pasar yang timpang.


Ketika Nabi Musa berdoa, “Rabbana iṭmis ‘alā amwālihim”—hilangkan fungsi harta mereka—itu tidak hanya dimaknai sebagai permohonan menghancurkan kekayaan Firaun secara fisik. Para mufasir seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi menafsirkan kata iṭmis sebagai permohonan agar harta itu kehilangan efektivitasnya, tidak lagi memaksa rakyat tunduk dan tidak lagi menjadi alat dominasi. Dalam kehidupan ekonomi modern, konsep ini mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dengan meruntuhkan pesaing, tetapi dengan membangun sistem alternatif yang membuat ketergantungan terhadap sistem zalim berkurang dan pada akhirnya melemah dengan sendirinya. Pada ranah quranicpreneurship, prinsip ini terwujud dalam penguatan rantai pasok mandiri, pengembangan koperasi umat, pendirian jaringan distribusi yang jujur, serta penciptaan produk dan layanan halal yang membuat masyarakat tidak lagi terperangkap dalam mekanisme pasar yang tidak adil.


Doa Nabi Musa berikutnya, “wasydud ‘alā qulūbihim”—keraskan hati mereka—mengandung dimensi psikologis dan spiritual. Para ulama menafsirkan bahwa kaum tiran sering kali tidak akan berubah sampai mereka sendiri menyaksikan akibat kezaliman mereka. Dalam perspektif quranicpreneur, ini berarti jangan menggantungkan harapan pada belas kasihan sistem yang tidak adil. Fokus utama adalah membangun kekuatan internal: visi yang jelas, keberanian moral, kesabaran strategis, dan jaringan kerja yang kokoh. Dengan demikian, perjuangan ekonomi umat tidak ditentukan oleh apakah lawan berubah, tetapi oleh seberapa kuat umat membentuk sistem alternatif yang berdaya.


Ayat ini juga mengandung pancaran keberanian moral. Nabi Musa menyebut nama Firaun secara langsung, mengkritik sistem ekonominya, struktur elitnya, dan cara mereka menyalahgunakan sumber daya. Ini adalah pelajaran penting bagi quranicpreneur yang ingin membangun kemandirian, bahwa keberanian moral mendahului keberanian finansial. Dalam dunia praktik, keberanian ini tampak dalam kesediaan menolak praktik riba meski kompetitor lebih cepat untung, keberanian membangun jaringan distribusi yang halal dan jujur, kesiapan memperjuangkan ekosistem syariah meski terlihat lebih berat di awal, serta inisiatif membangun usaha ketika orang lain masih menunggu momentum.


QS Yunus ayat 88 pada hakikatnya menghadirkan sebuah cetak biru perubahan sosial dan ekonomi. Dimulai dari analisis struktural yang jujur, dilanjutkan dengan visi keberpihakan yang jelas kepada masyarakat lemah, kemudian disertai upaya membangun sistem alternatif yang mandiri dan bersih dari praktik zalim. Di dalamnya juga terdapat ajaran tentang stamina psikologis: bahwa sebagian pelaku kezaliman tidak akan berubah, sehingga perjuangan membutuhkan ketekunan jangka panjang. Pada akhirnya, ayat ini menanamkan optimisme kenabian bahwa Allah berpihak kepada mereka yang berikhtiar membebaskan masyarakat dari ketergantungan yang melemahkan.


Para quranicpreneur adalah pewaris spirit perjuangan Nabi Musa pada masa kini. Mereka menghadapi “Firaun-Firaun ekonomi modern” berupa dominasi pasar, monopoli distribusi, maraknya riba, ketergantungan pada tengkulak, atau minimarket besar yang menguasai pasar rakyat. Namun ayat ini mengajarkan bahwa perubahan selalu dimulai dari doa yang tepat—doa yang bukan sekadar permohonan, tetapi kesadaran struktural, keberanian moral, dan strategi spiritual. Doa Nabi Musa menjadi energi yang menggerakkan ikhtiar, bukan alasan untuk pasrah.


Pada akhirnya, QS Yunus ayat 88 menegaskan bahwa doa bukanlah pelarian dari realitas, tetapi pernyataan sikap dan perumusan strategi perubahan. Doa Nabi Musa adalah doa para penggerak transformasi: doa yang memohon agar kekuatan tiran kehilangan relevansinya dan masyarakat dapat berdiri di atas kemandirian yang bermartabat. Ketika seorang quranicpreneur membaca ayat ini, ia seolah berdiri bersama Nabi Musa menghadapi kedigdayaan Firaun, sembari meyakini bahwa Allah selalu membuka jalan bagi mereka yang tulus berjuang membangun ekonomi yang lebih adil, lebih mandiri, dan lebih manusiawi.


Pesantren Raudhatul Irfan, 19 November 2025