Strategi Menuju Kemandirian Ekonomi HAMIDA: Roadmap Bisnis Jangka Pendek, Menengah, dan Panjang Pesantrend

Penulis: Irfan Soleh


Kemandirian ekonomi pesantren dan alumninya menjadi tantangan yang mendesak di tengah perubahan lanskap ekonomi modern. Himpunan Alumni Miftahul Huda (HAMIDA) sebagai representasi jaringan alumni pesantren memiliki potensi besar untuk membangun ekosistem ekonomi yang kokoh, produktif, dan berbasis nilai-nilai Islam. Namun, seperti banyak lembaga keislaman lainnya, tantangan utama yang dihadapi adalah ketergantungan terhadap bantuan eksternal dan kurangnya sistem ekonomi yang mandiri dan berkelanjutan. Pertanyaannya, bagaimana HAMIDA dapat bergerak dari posisi konsumtif menuju posisi produktif dan mandiri secara ekonomi dengan tetap berakar pada nilai-nilai pesantren?


Langkah pertama yang realistis dan strategis adalah membangun pondasi bisnis jangka pendek dengan bergabung sebagai mitra Koperasi Pemasaran Syariah Multipihak Pesantren Priangan Timur. Kolaborasi ini memungkinkan HAMIDA untuk segera terlibat dalam aktivitas ekonomi yang nyata, terutama dalam pemasaran produk body care dan skin care alami. Strategi ini tidak hanya memberikan peluang keuntungan secara finansial, tetapi juga menumbuhkan budaya kewirausahaan di kalangan alumni pesantren. Melalui skema koperasi syariah, aktivitas bisnis tetap berlandaskan prinsip keadilan, kebersamaan, dan keberkahan sebagaimana ditekankan dalam maqashid syariah (Chapra, 1992). Dalam jangka pendek ini, kegiatan pemasaran bukan hanya soal menjual produk, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran kolektif tentang manajemen, branding, dan etika bisnis Islami.


Setelah fondasi awal ini terbentuk dan aliran distribusi produk berjalan baik, maka pada tahap jangka menengah—yakni antara satu hingga tiga tahun—HAMIDA dapat mulai bergerak ke fase pengembangan produk sendiri. Pengalaman dan data pasar yang diperoleh dari kegiatan pemasaran akan menjadi dasar pengambilan keputusan yang lebih akurat tentang jenis produk yang diminati oleh pasar pesantren dan masyarakat sekitarnya. Pada fase ini, HAMIDA bisa mulai mengembangkan produk body care, skin care, dan terapi alami (skin therapy) yang sesuai dengan kebutuhan santri dan masyarakat pesantren. Prinsip market-driven innovation atau inovasi berbasis kebutuhan pasar menjadi sangat penting di tahap ini (Kotler & Keller, 2016). Pengembangan produk ini juga dapat dilakukan dengan menggandeng lembaga riset dan universitas untuk memastikan mutu, keamanan, dan keberlanjutan bahan-bahan alami yang digunakan. Dengan demikian, bisnis tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga berkontribusi terhadap riset produk halal, natural, dan ramah lingkungan—selaras dengan tren global menuju green economy dan halal lifestyle industry (Aziz & Vrontis, 2021).


Tahap jangka panjang yang ditargetkan lebih dari tiga tahun adalah membangun pabrik produksi sendiri yang dikelola secara profesional dan transparan. Langkah ini merupakan bentuk transformasi dari sekadar pelaku distribusi menjadi produsen utama dalam rantai nilai ekonomi pesantren. Dengan pabrik sendiri, HAMIDA dapat menciptakan lapangan kerja bagi alumni dan santri, meningkatkan nilai tambah produk, dan memperluas jaringan distribusi ke berbagai wilayah. Lebih jauh, kepemilikan aset produksi akan memperkuat ekosistem ekonomi berjamaah, di mana nilai manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh individu, tetapi juga oleh komunitas secara kolektif. Menurut studi Mulyono (2020) tentang ekonomi pesantren, kemandirian ekonomi tidak dapat dicapai hanya dengan berdagang, tetapi dengan menguasai rantai produksi dan distribusi secara terintegrasi.


Strategi bertahap ini juga sejalan dengan teori community-based entrepreneurship, di mana transformasi ekonomi suatu komunitas dimulai dari penguatan kapasitas lokal dan kolaborasi internal sebelum berkompetisi secara global (Peredo & Chrisman, 2006). Dalam konteks HAMIDA, komunitas alumni pesantren memiliki keunggulan unik berupa jejaring sosial yang luas dan kepercayaan moral yang tinggi di masyarakat—dua modal sosial yang menjadi kunci sukses ekonomi berbasis keumatan (Putnam, 2000). Dengan memanfaatkan modal sosial ini, HAMIDA bukan hanya membangun bisnis, tetapi membangun gerakan ekonomi umat yang berakar dari pesantren dan memberi manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat.


Secara konseptual, roadmap bisnis jangka pendek, menengah, dan panjang ini mencerminkan penerapan prinsip sustainable Islamic entrepreneurship—yakni wirausaha yang tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga berorientasi pada keberlanjutan sosial, lingkungan, dan spiritual (Abdul Rahman & Dean, 2013). Di tahap akhir, HAMIDA diharapkan mampu berdiri sebagai holding bisnis pesantren yang kuat, profesional, dan berdaya saing, namun tetap menjunjung nilai-nilai tauhid, amanah, dan keberkahan. Dengan demikian, perjalanan menuju kemandirian ekonomi HAMIDA bukan sekadar proyek bisnis, tetapi merupakan gerakan peradaban: mengembalikan peran pesantren sebagai pusat produksi ilmu, moral, dan ekonomi umat. Inilah bentuk nyata dari ikhtiar berjamaah menuju kemakmuran yang berkeadilan dan berkeberkahan.


Referensi

Chapra, M. U. (1992). Islam and the Economic Challenge. Islamic Foundation.

Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing Management (15th ed.). Pearson Education.

Aziz, N. A., & Vrontis, D. (2021). Halal Economy and Green Marketing: The Intersection of Ethics and Sustainability. Journal of Islamic Marketing, 12(3), 541–557.

Mulyono, H. (2020). Model Kemandirian Ekonomi Pesantren di Era Industri 4.0. Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 10(1), 45–60.

Peredo, A. M., & Chrisman, J. J. (2006). Toward a Theory of Community-Based Enterprise. Academy of Management Review, 31(2), 309–328.

Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster.

Abdul Rahman, R., & Dean, A. (2013). Challenges and Solutions in Islamic Microfinance. Humanomics, 29(4), 293–306.