Refleksi Usia 38 Tahun: Saat Amal Menjadi Jalan Menuju Cinta Ilahi

Penulis: Irfan Soleh


Pagi itu, suasana di Pesantren Raudhatul Irfan terasa berbeda. Udara sejuk menyelimuti halaman, dan cahaya mentari menembus lembut di sela dedaunan. Dalam pengajian pagi, kami membahas tiga hikmah dari Syekh Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari — tiga untaian kalimat yang sederhana, namun mengandung samudra makna. Tak terasa, pembahasan itu bertepatan dengan hari ulang tahun saya yang ke-38. Seolah Allah mengirimkan pesan khusus melalui hikmah-hikmah itu, sebagai bahan renungan tentang perjalanan hidup, makna amal, dan arah langkah ke depan.


Hikmah pertama berbunyi, “Maha Agung Allah SWT, seorang hamba beramal kepada-Nya secara kontan, dan Dia menangguhkan pembalasannya.” Di usia yang sudah tidak muda, saya mulai memahami betapa indahnya cara Allah mendidik hamba-Nya. Betapa sering kita merasa telah berjuang keras — mengajar, berkhidmat, beramal — lalu berharap hasilnya segera tampak. Namun, Allah justru menunda. Dulu saya sering bertanya, “Mengapa balasan belum datang?” Kini saya tahu, penangguhan itu bukan penolakan, tapi bentuk cinta. Allah ingin membersihkan niat, agar amal tidak berubah menjadi transaksi. Karena amal yang sejati bukanlah yang cepat dibayar, tetapi yang menumbuhkan kesetiaan walau tak terlihat balasannya.


Lalu, hikmah kedua berkata, “Cukuplah balasan dari Allah kepadamu atas ketaatan, adalah bahwa Dia ridha kepadamu.”

Kalimat ini seperti menembus dada. Di usia 38, saya belajar bahwa ridha Allah jauh lebih berharga daripada segala bentuk penghargaan dunia. Ridha itu mungkin tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan — dalam tenangnya hati, dalam ringan langkah menjalani takdir, dalam ikhlasnya menerima apa pun yang terjadi. Jika Allah ridha, maka segalanya terasa cukup. Tidak perlu pengakuan, tidak perlu tepuk tangan. Karena ridha-Nya adalah cahaya yang membuat setiap gelap terasa bermakna.


Dan hikmah ketiga menjadi puncak dari semuanya: “Cukuplah sebagai balasan untuk orang yang beramal adalah terbukanya hati mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan apa yang Allah berikan kepada mereka berupa kemesraan berhubungan dengan-Nya.” Inilah tahap tertinggi dari perjalanan spiritual — ketika amal tidak lagi sekadar tugas, tapi menjadi bahasa cinta antara hamba dan Tuhannya. Saat Allah membuka hati, setiap sujud terasa lembut, setiap doa terasa hangat, dan setiap kesulitan terasa sebagai pelukan kasih-Nya. Di titik ini, amal bukan lagi beban, tapi kerinduan. Dan sungguh, kemesraan dengan Allah itulah balasan paling indah yang tidak bisa ditukar dengan apa pun di dunia.


Usia 38 adalah usia refleksi — bukan lagi mengejar siapa yang paling tinggi, tapi memastikan diri tidak jauh dari Yang Maha Tinggi. Ini adalah masa untuk memperdalam keikhlasan, meneguhkan niat, dan memurnikan tujuan. Di usia ini, saya ingin lebih banyak berterima kasih daripada meminta, lebih banyak memberi daripada mengeluh, lebih banyak mendekat daripada berhitung. Karena di balik semua pengalaman — suka, duka, jatuh, dan bangkit — Allah selalu hadir dengan caranya yang lembut, mengajarkan bahwa setiap amal adalah panggilan untuk semakin dekat dengan-Nya.


Maka, saya menutup refleksi hari ini dengan doa: Ya Allah, di usia 38 tahun ini, jangan jadikan amal hamba sebagai beban, tapi sebagai jembatan menuju cinta-Mu. Jangan jadikan ridha-Mu sesuatu yang jauh, tapi cahaya yang menuntun setiap langkah. Bukalah hati ini agar tetap mesra dalam beribadah, ikhlas dalam berjuang, dan tenang dalam menerima semua yang Engkau kehendaki. Sebab pada akhirnya, yang paling berharga bukanlah panjangnya usia, tapi seberapa dalam hati ini mengenal-Mu


Pesantren Raudhatul Irfan, 7 November 2025