MENITI IBADAH YANG MURNI: MEMBACA HIKMAH KE-92 SYEKH IBN ‘AṬĀ’ILLAH
Penulis: Irfan Soleh
Dalam salah satu untaian al-Ḥikam yang paling halus maknanya, Syekh Ibn ‘Aṭā’illah menegaskan bahwa siapa pun yang beribadah karena mengharap sesuatu dari Allah atau karena ingin menghindar dari hukuman-Nya, maka ia sebenarnya belum menunaikan hak-hak sifat-Nya. Kalimat ini sekilas tampak sederhana, namun ia memuat kedalaman spiritual yang menuntun seorang hamba menuju maqām penghambaan paling jernih. Sebab ibadah yang didorong oleh harapan pahala atau ketakutan dari siksa, pada hakikatnya masih menyimpan kepentingan diri. Ada sesuatu yang ingin diraih, ada sesuatu yang ingin dihindari, dan Tuhan hanya dijadikan jalan untuk mencapai tujuan itu. Padahal, hakikat ketuhanan-Nya terletak pada keagungan, kesempurnaan, dan kemahatinggian-Nya, yang sepatutnya membuat seorang hamba tunduk hanya karena Dia memang pantas disembah, tidak karena yang lain.
Ibn ‘Aṭā’illah ingin menggugah kesadaran seorang salik bahwa ibadah yang sejati tumbuh dari cinta, pengagungan, dan penyaksian terhadap kebesaran Allah. Ketika seorang hamba sujud karena merasakan nikmatnya berada di hadapan Yang Mahaagung, ketika ia berzikir bukan untuk menambah timbangan amal tetapi karena hatinya tidak sanggup jauh dari Allah, ketika ia menjaga larangan bukan karena takut pada azab tetapi karena tidak ingin mengecewakan Tuhan yang mencintainya—pada saat itulah ia mulai menunaikan hak-hak sifat-Nya. Sifat rububiyah-Nya menuntut kita untuk mengakui keesaan kuasa-Nya, sifat rahmah-Nya menuntun kita untuk merasakan kelembutan-Nya, sifat jalal-Nya mengajak kita untuk merunduk dan tunduk tanpa syarat, dan sifat jamal-Nya menggerakkan hati untuk mencintai-Nya tanpa pamrih.
Namun tentu perjalanan menuju kesucian niat seperti itu tidak mudah. Kebanyakan manusia memulai ibadah dengan dorongan-dorongan dasar, seperti ingin mendapat pahala atau selamat dari siksa. Dan para ulama tasawuf membenarkan bahwa ini adalah tahapan awal yang wajar. Akan tetapi, makna hikmah ini hadir sebagai undangan agar seorang hamba terus meningkat dalam kualitas niatnya. Ia tidak berhenti pada ibadah transaksional yang bertukar pahala dan keselamatan, tetapi naik menuju ibadah yang berlandaskan ma'rifah dan mahabbah. Seorang hamba yang mengenal Allah dengan benar tidak akan menjadikan ibadah sebagai alat untuk mendapat keuntungan, melainkan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada Dzat yang tidak ada taranya dalam keindahan, keagungan, dan kemuliaan.
Bayangkan seorang santri di Pesantren Raudhatul Irfan yang bangun sebelum subuh untuk qiyamul lail. Jika ia bangun karena ingin mendapat nilai plus di mata ustadz atau agar dianggap ahli ibadah oleh teman-temannya, maka jelas ia belum menunaikan hak sifat-Nya. Jika ia bangun semata-mata karena ingin memastikan pahala tahajud tercatat atau agar terhindar dari siksa kubur, niatnya memang lebih baik daripada riya’, tetapi masih belum mencapai derajat ibadah yang dimaksud Ibn ‘Aṭā’illah. Tetapi jika seorang santri bangun karena hatinya merasa rindu bermunajat, karena ia ingin berdua-duaan dengan Allah di waktu sepi, karena ia malu jika malam berlalu tanpa ia menyebut nama-Nya, maka saat itu ia sedang menunaikan hak sifat-Nya. Ibadahnya berubah dari rutinitas menjadi perjumpaan, dari kewajiban menjadi kebutuhan, dan dari beban menjadi kelezatan.
Contoh lain dapat terlihat ketika seorang santri mengaji kitab kuning. Ada yang mengaji agar cepat khatam, agar dipuji gurunya, atau agar diakui sebagai santri yang cerdas. Ada pula yang belajar agar kelak mendapat pahala ilmu. Ini tidak salah, tetapi masih berada pada ranah mencari keuntungan diri. Berbeda dengan santri yang membuka kitab karena ingin memahami kalam para ulama sebagai jalan memahami kehendak Allah. Ia merasa bahwa setiap huruf yang dibacanya adalah pintu untuk mengenal-Nya, setiap makna yang ia pahami adalah cahaya yang menuntun hatinya. Ketika belajar menjadi bentuk pengagungan terhadap ilmu yang Allah wariskan kepada para ulama, maka proses itu telah berubah menjadi ibadah yang menunaikan hak sifat-sifat-Nya.
Begitu pula saat para santri Raudhatul Irfan menjalankan khidmah di pesantren. Ada yang melakukannya karena takut ditegur pengurus atau karena ingin mendapat simpati kiai. Tetapi ada yang melakukannya karena ia merasa bahwa melayani pesantren adalah bentuk syukur kepada Allah yang mempertemukannya dengan lingkungan ilmu. Ia menyapu halaman pondok bukan sekadar membersihkan tanah, tetapi membersihkan hatinya sendiri dari sifat malas dan ego. Ia membantu memasak bukan untuk mendapat pujian, tetapi karena ia ingin memberi manfaat kepada para penuntut ilmu.
Dalam kesadaran seperti inilah hak-hak sifat Allah—yang Maha Mendidik (al-Rabb), Maha Pemurah (al-Karim), dan Maha Melihat (‘Alim)—menemukan manifestasinya pada tindakan hamba.
Hikmah ke-92 ini pada akhirnya mengajarkan bahwa ibadah adalah cermin hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Jika hubungan itu masih ditentukan oleh kepentingan pribadi, maka ibadahnya akan mudah goyah ketika tidak sesuai harapan. Tetapi jika ibadah itu menjadi bentuk pengagungan, cinta, rindu, dan syukur kepada Allah, maka tidak ada keadaan yang bisa memadamkannya. Santri yang memaknai ibadah seperti ini tidak hanya disiplin secara lahir, tetapi juga lembut secara batin. Ia menjaga solatnya ketika semangat maupun lelah, ia tetap membaca Al-Qur’an di tengah kesibukan maupun kesendirian, dan ia menjaga adab saat terlihat maupun tidak terlihat. Sebab ia tidak sedang mencari balasan atau perlindungan, melainkan sedang memenuhi hak-hak sifat Tuhan yang Mahaindah dan Mahaagung.
Dengan demikian, hikmah Syekh Ibn ‘Aṭā’illah bukan sekadar teguran, tetapi sebuah undangan untuk naik kelas spiritual. Ia mengajak para santri dan seluruh hamba Allah untuk menata kembali niat ibadah, menjadikannya bukan sebagai transaksi, tetapi sebagai persembahan. Di pesantren seperti Raudhatul Irfan, hikmah ini dapat menjadi fondasi pembentukan karakter santri: bahwa ibadah harus berangkat dari hati yang ikhlas, pikiran yang sadar, dan jiwa yang tunduk. Dan ketika ibadah sudah berada pada derajat tersebut, maka seorang hamba bukan hanya menunaikan kewajiban-kewajiban agama, tetapi juga memuliakan Allah dengan sebenar-benarnya pemuliaan. Di situlah ia menemukan ketenangan yang tidak dapat ditukar oleh pahala apa pun, dan keselamatan yang tidak bergantung pada takutnya terhadap siksa—melainkan karena ia dekat dengan Allah yang ia cintai.
Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 21 November 2025
.png)
0 Komentar