Menapaki Jalan Cinta kepada Allah dan Rasul Melalui Ketaatan dan Teladan Guru

Penulis: Irfan Soleh


Cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh perjalanan ruhani manusia. Namun cinta itu tidak akan sampai tanpa mengenal jalan menuju-Nya. Dalam firman-Nya, Allah menegaskan bahwa cinta sejati kepada-Nya menuntut adanya ketaatan dan peneladanan terhadap Rasulullah ﷺ. Sebab, tidak ada cinta kepada Allah tanpa melalui jalan Rasul-Nya, dan tidak ada jalan kepada Rasul kecuali dengan mengikuti mereka yang mewarisi ilmunya — para guru, ulama, dan Kyai yang ikhlas.


Firman Allah dalam QS. At-Taubah ayat 24 menjadi peringatan yang tegas: “Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat kamu senangi lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”


Ayat ini mengajarkan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi sebuah komitmen spiritual yang menuntut pengorbanan dan penyerahan total. Siapa pun yang menomorsatukan kenikmatan dunia di atas cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya sedang menutup pintu hidayah bagi dirinya sendiri.


Cinta kepada Rasulullah ﷺ tidak bisa diwujudkan kecuali dengan meneladani beliau dalam ucapan, perbuatan, dan akhlak. Allah berfirman: “Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31). Ayat ini menjelaskan bahwa bukti cinta kepada Allah adalah ittiba‘ (mengikuti sunnah) Rasulullah ﷺ. Maka dalam kehidupan sehari-hari, ukuran cinta bukanlah kata-kata, tetapi sejauh mana kita menelusuri jejak beliau — dalam ibadah, akhlak, dan pelayanan kepada sesama.


Para ulama menjelaskan bahwa jalan menuju Allah banyak, tetapi semuanya akan menemui buntu kecuali jalan yang ditempuh Rasulullah ﷺ. Dan jalan Rasul itu diteruskan oleh para pewarisnya, yaitu para ulama, guru, dan kyai yang membimbing umat dengan ilmu dan akhlak. Maka, mencintai dan menaati guru yang shalih bukan berarti mengkultuskan manusia, tetapi menghormati saluran petunjuk Allah yang mengantarkan kita kepada kebenaran.


Mengikuti Rasul berarti menaati beliau dengan tulus dan meneladaninya dalam dzikir, ibadah, dan amal. Barang siapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS. An-Nisa: 80). Maka orang yang mencintai gurunya karena Allah akan berusaha meneladani gurunya dalam ketaatan, kesabaran, dan pengabdian — sebagaimana seorang sahabat meneladani Rasulullah ﷺ.


Dalam tradisi sufi, guru  bukan sekadar pengajar ilmu, tetapi pembimbing hati. Melalui tangan gurulah, Allah menyalurkan ilmu yang hidup — bukan sekadar pengetahuan, tetapi nurul ‘ilm, cahaya ilmu yang menuntun amal. Maka seorang murid yang tulus tidak hanya belajar dari perkataan gurunya, tetapi juga dari keheningannya, dari ketenangan wajahnya, dari cara beliau berzikir, bersabar, dan mengabdi. Itulah adab mahabbah yang menghidupkan jiwa.


Namun, cinta kepada guru juga menuntut keseimbangan. Jika cinta tidak disertai ilmu, maka ia bisa berubah menjadi fanatisme buta; jika ilmu tidak dibingkai dengan cinta, maka ia menjadi kering dan angkuh. Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili ra. pernah berkata: “Barang siapa ilmunya dan amalnya tidak ditimbang dengan timbangan ilmu dan amal yang benar, maka ia terhijab oleh bid‘ah atau tersesat oleh klaim palsu, dan akan mewarisi kesombongan terhadap Tuhannya serta keangkuhan terhadap sesamanya.”


Kata-kata ini mengingatkan bahwa ilmu dan amal harus bersumber dari hati yang bersih, bukan dari ego dan kesombongan spiritual. Bahkan, banyak orang yang tampak saleh secara lahir, tetapi terputus dari Allah karena mereka lebih mencintai diri mereka sendiri daripada kebenaran yang diajarkan gurunya. Itulah yang disebut “terputus karena kesalehannya sendiri” — mereka bangga pada amalnya, namun lupa pada sumber hidayahnya.


Cinta yang sejati kepada guru adalah cinta yang menuntun kita untuk lebih dekat kepada Allah, bukan menjauh dari-Nya. Ia menumbuhkan kerendahan hati, rasa butuh kepada Allah, dan penghormatan kepada sesama makhluk. Sebaliknya, cinta yang tercemar oleh ego akan melahirkan kesombongan dan kebinasaan batin.


Akhirnya, jalan mahabbah adalah jalan penyerahan diri. Cinta kepada Allah dan Rasul terwujud dalam kesetiaan kepada jalan yang dibawa oleh para pewarisnya — para guru yang ikhlas membimbing dengan cahaya ilmu dan amal. Siapa yang mengikuti mereka dengan hati yang tulus, maka Allah akan menanamkan cinta di dalam dadanya. “Maka mereka yang beriman dan beramal saleh, Allah akan menanamkan cinta di dalam hati mereka.” (QS. Maryam: 96)


Cinta kepada Allah dan Rasul adalah fondasi iman, dan cinta kepada guru adalah jembatan menuju keduanya. Sebab, melalui guru, Allah menampakkan kasih sayang-Nya dan membuka jalan pengetahuan yang menghidupkan hati. Maka, barang siapa menjaga mahabbah kepada gurunya dengan ikhlas, sesungguhnya ia sedang berjalan menuju cinta yang tertinggi — mahabbah ilāllāh, cinta kepada Allah yang abadi.


Pesantren Raudhatul Irfan, 9 November 2025