Hikmah Ibnu ‘Athoillah: Kemesraan Ruhani sebagai Balasan Tertinggi

Penulis: Irfan Soleh


Jika dalam hikmah sebelumnya Ibnu ‘Athoillah menjelaskan bahwa balasan sejati bagi amal saleh adalah ridha Allah, maka dalam hikmah berikutnya ia memperdalam makna itu dengan ungkapan yang lebih lembut: “Cukuplah sebagai balasan untuk orang yang beramal adalah terbukanya hati mereka dalam ketaatan kepada Allah, dan apa yang Allah berikan kepada mereka berupa kemesraan dekat dengan Allah SWT.”


Inilah tahapan spiritual yang lebih halus — maqam di mana seorang hamba tidak lagi memandang amalnya sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu dari Allah, melainkan sebagai cara untuk bersama Allah. Amal bukan lagi sekadar tugas, tapi menjadi ruang perjumpaan antara hamba dengan Rabb-nya. Dalam setiap rukuk, sujud, zikir, dan tafakur, ia merasakan kedekatan yang lembut, seolah jiwanya sedang diselimuti cahaya kasih sayang Ilahi yang tak terlukiskan oleh kata.


Ibnu ‘Athoillah mengisyaratkan bahwa terbukanya hati dalam ketaatan adalah anugerah yang tak semua orang bisa rasakan. Banyak orang beramal, tetapi tidak semua merasakan kemesraan batin di dalamnya. Ada yang salat tapi hatinya kosong, ada yang berzikir tapi lisannya kering tanpa makna. Maka ketika Allah membukakan hatimu untuk mencintai ibadah, untuk menikmati waktu bersama-Nya, untuk rindu kembali sujud setiap kali lalai — itulah tanda bahwa engkau sedang diberi balasan langsung oleh Allah berupa uns (kedekatan mesra).


Kemesraan spiritual ini bukan romantisme kosong, melainkan pengalaman ruhani yang membuat seorang hamba tidak lagi merasa sepi di dunia. Ia menemukan tempat pulang dalam setiap dzikirnya. Saat dunia gaduh, ia tenang. Saat manusia menjauh, ia merasa ditemani. Sebab ia telah mengenal Allah bukan hanya melalui nama, tetapi melalui rasa. Dan rasa itu hanya diberikan kepada hati yang telah dibersihkan melalui kesungguhan amal dan keikhlasan niat.


Sufi-sufi besar menyebut keadaan ini sebagai hal al-uns billah — perasaan intim dan damai bersama Allah. Di maqam ini, amal tidak lagi berat. Ibadah bukan lagi kewajiban yang menekan, tetapi kerinduan yang mengundang. Ia tidak menghitung pahala, tidak menunggu hasil, dan tidak mencari pengakuan. Ia hanya ingin terus berada dalam kehadiran Allah. Hatinya menjadi taman dzikir, pikirannya menjadi cermin tafakur, dan setiap tarikan napasnya menjadi bentuk syukur.


Mereka yang telah sampai pada kemesraan ruhani seperti ini sejatinya telah merasakan surga sebelum surga. Mereka hidup di dunia, tetapi jiwanya sudah menghirup udara kedamaian akhirat. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim, “Di dunia ini ada surga; siapa yang belum memasukinya, ia tidak akan masuk ke surga akhirat.” Surga itu adalah kedekatan hati dengan Allah, yang ditandai dengan rasa manis saat mengingat-Nya dan rasa sakit ketika lalai dari-Nya.


Ibnu ‘Athoillah mengajak kita menyadari bahwa kemesraan dengan Allah bukanlah hasil dari banyaknya amal, melainkan dari keikhlasan dalam setiap amal. Amal hanyalah pintu, sedangkan rasa mesra itu adalah tamu agung yang datang dari rahmat Allah sendiri. Tidak setiap orang yang mengetuk pintu diberi izin masuk, tapi siapa pun yang masuk pasti disambut dengan kasih. Dan jika Allah telah membukakan hatimu untuk menikmati kemesraan bersama-Nya, maka engkau telah mendapatkan balasan yang lebih berharga dari dunia dan seisinya.


Maka janganlah kecil hati ketika amalmu sederhana dan tak terlihat. Mungkin engkau bukan yang paling banyak beramal, tapi siapa tahu engkaulah yang paling mesra dengan Allah dalam diammu. Bukankah lebih mulia hati yang bergetar karena cinta Ilahi daripada lidah yang fasih tanpa makna? Bukankah lebih tinggi nilai air mata yang menetes karena rindu kepada Allah daripada amal besar yang diwarnai riya?

Hikmah ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah ketika hidupmu penuh fasilitas, tetapi ketika hatimu penuh dzikir. Tidak ada kenikmatan yang menandingi rasa tenteram saat berada di hadapan Allah, tidak ada karunia yang melebihi terbukanya hati untuk terus mencintai-Nya.


Maka jika suatu saat engkau merasakan tenang saat berdoa, rindu saat jauh dari ibadah, atau bahagia saat berzikir — ketahuilah, itu adalah hadiah yang luar biasa. Itulah balasan yang sesungguhnya: kemesraan bersama Allah, yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dipelajari, dan tidak bisa dipaksakan, kecuali jika Allah sendiri yang menanamkannya di dalam hatimu.


Dan di situlah letak keindahan tertinggi dari setiap amal: bukan pada besarnya pahala, tapi pada hangatnya hubungan antara hamba dengan Tuhan. Ketika hatimu telah luluh dalam cinta Ilahi, maka engkau telah menemukan hakikat dari seluruh ibadah — yakni bersama Allah, dalam kemesraan yang tak terputus oleh waktu, tak tergantikan oleh dunia.


Pesantren Raudhatul Irfan, 7 November 2025