Hikmah Ibnu ‘Athoillah: Balasan Tersembunyi di Balik Ridha Allah
Penulis: Irfan Soleh
Dalam dunia spiritual, sering kali manusia tergesa-gesa ingin melihat hasil dari setiap amal baik yang ia lakukan. Setelah beribadah dengan sungguh-sungguh, berinfak dengan ikhlas, atau menahan diri dari godaan dunia, muncul harapan agar Allah segera memberikan ganjaran yang nyata — entah berupa ketenangan batin, kelapangan rezeki, atau keberkahan hidup yang terlihat kasat mata. Namun, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari, seorang sufi besar dari Mesir, mengingatkan kita dengan hikmah yang begitu halus: “Mustahil Allah menangguhkan balasan pahala bagi hamba yang beramal baik kepada-Nya secara kontan. Cukuplah sebagai balasan Allah atas ketaatanmu, ketika Allah meridhoimu sebagai pelaku ketaatan.”
Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam. Ibnu ‘Athoillah ingin menggeser pandangan kita dari orientasi pada hasil lahiriah menuju makna batiniah dari amal. Ia menegaskan bahwa balasan sejati bagi seorang hamba yang taat bukanlah materi, bukan pula keajaiban yang langsung tampak, melainkan ridha Allah itu sendiri. Ketika Allah mengizinkan seorang hamba untuk tetap berada di jalan ketaatan, itu sudah merupakan bentuk ganjaran tertinggi yang sering kali luput disadari manusia.
Bayangkan, berapa banyak orang yang hatinya keras, yang sulit sekali untuk menunaikan salat tepat waktu, yang enggan bersedekah walau punya harta melimpah, atau yang tidak mampu menundukkan hawa nafsunya dalam kesendirian. Maka, ketika engkau mendapati dirimu dimudahkan untuk beribadah, hatimu tergerak untuk membaca Al-Qur’an, atau jiwamu tenang saat bersujud — di situlah sesungguhnya balasan Allah sedang diberikan kepadamu secara kontan. Bukan dalam bentuk benda, melainkan dalam bentuk kemampuan untuk taat dan kenikmatan dalam ibadah.
Ibnu ‘Athoillah mengajarkan bahwa ukuran kebaikan amal tidak selalu harus diukur dengan datangnya rezeki atau keberuntungan hidup. Allah bisa saja menunda pahala akhirat, tapi tidak pernah menunda rahmat-Nya bagi hamba yang ikhlas. Rahmat itu hadir dalam bentuk kelembutan hati, kejernihan pikiran, dan kekuatan untuk terus berbuat baik meski tak disaksikan siapa pun. Justru di situlah letak “balasan kontan” yang dimaksud. Karena tidak semua orang diberi kenikmatan batin untuk mencintai ketaatan.
Lebih dari itu, ridha Allah bukan sekadar tanda diterimanya amal, melainkan bukti bahwa Allah menempatkan hamba itu di sisi yang dekat dengan-Nya. Saat seorang hamba ikhlas beramal tanpa berharap imbalan dunia, Allah menanamkan rasa cukup di hatinya. Ia tidak lagi menanti ucapan terima kasih, tidak merasa kecewa saat usahanya tak dihargai, dan tidak iri melihat orang lain tampak lebih beruntung. Sebab ia tahu, balasan tertingginya telah ia rasakan: Allah memberinya izin untuk terus berbuat baik.
Inilah maqam para salik, para pencari Tuhan sejati, yang amalnya tidak terikat oleh logika timbal balik duniawi. Mereka tidak menuntut hasil karena sadar bahwa Allah tidak pernah menunda balasan bagi kebaikan. Bahkan dalam keheningan ibadah, Allah sudah membalas dengan ketenangan hati. Dalam setiap air mata taubat, Allah telah menurunkan kasih sayang-Nya. Dan dalam setiap kesungguhan beramal, Allah telah meneguhkan hamba itu sebagai bagian dari golongan yang diridhai-Nya.
Maka, jika engkau sedang beramal dan belum melihat hasilnya, janganlah kecewa. Lihatlah ke dalam hatimu: masihkah engkau merasakan manisnya ketaatan, kelezatan dalam sujud, atau ketenangan dalam berdoa? Jika ya, maka sesungguhnya Allah telah membalas amalmu dengan cara yang paling mulia — dengan ridha-Nya. Sebab bagi orang-orang yang mencintai Allah, balasan bukanlah apa yang mereka terima, tetapi siapa yang meridhai mereka.
Ridha Allah adalah puncak dari segala balasan. Ia tidak bisa ditukar dengan dunia dan seisinya. Dan siapa pun yang telah merasakan kedamaian dalam ketaatan, sesungguhnya ia sudah mendapatkan surga kecil di dunia — surga yang akan menjadi pintu menuju surga abadi di akhirat kelak.
Pesantren Raudhatul Irfan, 7 November 2025
.png)
0 Komentar