Etika Bisnis Qur’anicpreneur dalam Cahaya QS. An-Nisa: 29

Penulis: Irfan Soleh


Al-Qur’an tidak hanya menuntun manusia dalam urusan ibadah ritual, tetapi juga menata perilaku manusia dalam menjalani kehidupan ekonomi. Di tengah hiruk-pikuk dunia usaha yang sering kali diwarnai oleh persaingan tidak sehat, manipulasi harga, dan ketidakjujuran, Al-Qur’an hadir sebagai pedoman moral yang menegakkan keseimbangan antara laba dan keberkahan. Allah berfirman, “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29). Ayat ini bukan sekadar peringatan moral, melainkan fondasi spiritual bagi seluruh aktivitas ekonomi. Tapi bagaimana mungkin seorang pengusaha bisa tetap berkompetisi di pasar modern tanpa kehilangan nilai-nilai ilahi yang dijunjung tinggi oleh ayat ini?


Dalam pandangan Qur’anicpreneur, bisnis bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Harta yang diperoleh bukan hasil dari kelihaian semata, tetapi titipan dari Allah yang harus digunakan untuk kemaslahatan. Karena itu, seorang pengusaha Muslim tidak boleh terjebak dalam praktik al-bāṭil—segala bentuk cara curang, manipulatif, atau zalim dalam mencari keuntungan. Ia menyadari bahwa setiap rupiah yang masuk ke tangannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Prinsip ini menjadikan bisnis bukan ajang eksploitasi, melainkan ruang pengabdian.


Ayat tersebut juga menegaskan pentingnya prinsip tarāḍin minkum—suka sama suka di antara pihak yang bertransaksi. Keridhaan dalam perdagangan bukanlah sekadar formalitas ucapan “rela,” tetapi harus lahir dari transparansi, kejujuran, dan keadilan. Dalam praktiknya, seorang Qur’anicpreneur tidak akan menipu kualitas barang, menyembunyikan cacat produk, atau menekan harga produsen kecil demi keuntungan pribadi. Ia memastikan setiap pihak yang terlibat dalam rantai bisnisnya merasa dihargai dan diperlakukan adil. Keridhaan semacam ini menumbuhkan kepercayaan dan menjadikan transaksi ekonomi sebagai bentuk ibadah yang menghadirkan ketenangan batin.


Etika ini kemudian meluas ke seluruh aspek bisnis, dari produksi hingga distribusi. Seorang Qur’anicpreneur tidak akan mengorbankan lingkungan demi efisiensi biaya, tidak akan memeras tenaga kerja demi margin laba, dan tidak akan menimbun barang untuk memanipulasi harga pasar. Ia memahami bahwa kekayaan sejati bukanlah penumpukan harta, tetapi keberkahan yang mengalir dari niat baik dan keadilan dalam tindakan. Dengan cara itu, bisnis tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga memperkuat nilai-nilai sosial dan spiritual dalam masyarakat.


Dalam perjalanan ini, integritas menjadi modal utama. Rasulullah ﷺ menegaskan, “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menempatkan dunia bisnis dalam ruang yang sangat mulia—bahwa seorang pengusaha yang menjaga kejujuran sejatinya sedang menempuh jalan kenabian. Bagi Qur’anicpreneur, kejujuran bukan strategi, melainkan identitas; amanah bukan kewajiban, melainkan jiwa. Ia berdagang bukan untuk menimbun kekayaan, tetapi untuk menebar manfaat, menciptakan lapangan kerja, dan menyalurkan rezeki dengan penuh keberkahan.


Ketika nilai-nilai QS. An-Nisa: 29 dihidupkan dalam dunia bisnis, maka setiap transaksi menjadi ibadah, setiap keuntungan menjadi amal, dan setiap produk menjadi sarana kemaslahatan. Di tengah sistem ekonomi modern yang sering mengabaikan moralitas, Qur’anicpreneur hadir sebagai pembawa cahaya: pengusaha yang berpikir dengan strategi, tetapi berjalan dengan nurani; berjuang untuk sukses, tetapi tidak melupakan makna keberkahan. Karena bagi mereka, rezeki sejati bukan yang bertambah di kas, tetapi yang menumbuhkan jiwa dan menenangkan hati.


Pesantren Raudhatul Irfan, 3 November 2025