Cinta, Prioritas, dan Jalan Qur’anicpreneur: Tafsir QS. At-Taubah Ayat 24
Penulis: Irfan Soleh
Ayat ke-24 dari surah At-Taubah turun sebagai panggilan lembut namun tegas dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang tenggelam dalam pusaran cinta dunia. “Katakanlah,” demikian firman-Nya, “jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah yang kamu senangi, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” Ayat ini mengguncang kesadaran manusia tentang hakikat cinta dan prioritas. Ia menegaskan bahwa di antara sekian banyak cinta yang tumbuh dalam hati, hanya satu yang harus menjadi pusat gravitasi seluruh kehidupan: cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam tafsir para ulama, ayat ini disebut sebagai mizanul mahabbah — timbangan cinta. Dengannya setiap manusia diuji, apakah cinta kepada Allah dan Rasul benar-benar menguasai jiwanya, atau hanya menjadi hiasan di bibir dan retorika di lidah. Ujian itu tidak datang dalam bentuk kata-kata, melainkan dalam keseharian hidup: ketika seseorang harus memilih antara kejujuran dan keuntungan, antara ibadah dan urusan dagang, antara kepentingan diri dan maslahat umat. Dalam momen-momen itulah, ukuran cinta kepada Allah dan Rasul sesungguhnya terbukti.
Bagi seorang Qur’anicpreneur, ayat ini bukan sekadar seruan moral, melainkan fondasi spiritual dari seluruh aktivitas bisnisnya. Seorang pengusaha Qur’ani memandang dunia usaha sebagai ladang jihad, tempat di mana ia menyalurkan cinta kepada Allah melalui amal, kejujuran, pelayanan, dan kebermanfaatan. Ia sadar bahwa harta bukanlah tujuan, melainkan sarana; dan perdagangan bukanlah sumber cinta, tetapi ladang ujian untuk menakar seberapa besar cintanya kepada Tuhan tetap utuh di tengah riuhnya dunia.
Ketika Allah menyebut “perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya”, Al-Qur’an sedang menyentuh sisi terdalam dari psikologi manusia yang takut kehilangan. Rasa khawatir akan rugi sering membuat manusia lupa bahwa rezeki sejati bukan hasil dari kecerdikan, melainkan dari keberkahan. Dalam pandangan Qur’anicpreneur, setiap laba adalah karunia, setiap rugi adalah pelajaran, dan setiap keberhasilan adalah amanah. Ia bekerja bukan karena takut kekurangan, melainkan karena ingin menjadi perantara rahmat Allah bagi banyak orang.
Cinta kepada Allah menuntut keteguhan hati agar tidak diperbudak oleh ketakutan dunia. Dalam dunia usaha yang penuh persaingan dan godaan, seorang Qur’anicpreneur menolak untuk berkhianat kepada nilai-nilai Qur’an. Ia menjaga kejujuran meskipun harus kehilangan peluang, menolak riba meskipun tampak menguntungkan, dan menolak menipu meski bisa mempercepat pertumbuhan usaha. Ia tahu bahwa keberhasilan yang tidak diridhai Allah adalah kegagalan yang tertunda, dan kegagalan yang diterima dengan sabar adalah kesuksesan yang sedang tumbuh.
Ayat At-Taubah 24 juga menanamkan kesadaran bahwa cinta sejati selalu berbuah tindakan. Cinta kepada Allah tidak berhenti di lidah atau di dada, tetapi mengalir menjadi amal nyata yang bermanfaat bagi orang lain. Seorang Qur’anicpreneur membuktikan cintanya dengan melayani, memberi, dan membangun. Ia menjadikan bisnisnya sebagai bentuk ibadah yang berkelanjutan, di mana setiap transaksi menjadi zikir, setiap keputusan menjadi bentuk syukur, dan setiap interaksi menjadi ladang pahala. Ia bukan sekadar berdagang, tetapi berdakwah dengan kejujuran, keadilan, dan kasih sayang.
Dalam dunia modern yang menuhankan kecepatan dan keuntungan, ayat ini menjadi tamparan lembut yang mengingatkan agar jangan sampai cinta kepada dunia menyingkirkan cinta kepada Sang Pencipta. Ketika bisnis berubah menjadi sumber kesombongan, ketika harta menjadi ukuran harga diri, dan ketika pencapaian materi menjadi pusat kebanggaan, maka sebenarnya cinta kepada Allah mulai memudar dari relung hati. Seorang Qur’anicpreneur yang sejati tidak menolak kemajuan dan kekayaan, tetapi ia menempatkannya dalam bingkai pengabdian. Ia berbisnis bukan untuk menumpuk kekuasaan, melainkan untuk menebar keberkahan.
Cinta kepada Allah dan Rasul juga menuntut adanya cinta kepada nilai-nilai kenabian yang diwariskan kepada para pewarisnya — para ulama, guru, dan pembimbing ruhani. Mereka adalah cermin yang memantulkan cahaya petunjuk agar langkah-langkah duniawi tetap berada di jalan ilahi. Dalam pandangan tasawuf, tidak ada jalan menuju Allah tanpa guru, sebagaimana tidak ada cinta kepada Allah tanpa mengikuti Rasulullah ﷺ. Maka seorang Qur’anicpreneur yang berjiwa santri menempatkan guru sebagai pembimbing rohaninya, memastikan bahwa semangat bisnisnya tetap dibimbing oleh adab, niat, dan nilai-nilai spiritual.
QS. At-Taubah ayat 24 juga mengajarkan keseimbangan yang indah antara dunia dan akhirat. Ia tidak menyuruh kita membenci keluarga atau meninggalkan perdagangan, melainkan menata urutan cinta agar dunia tidak menenggelamkan akhirat. Cinta kepada keluarga, harta, dan rumah menjadi mulia jika semuanya diarahkan untuk menguatkan cinta kepada Allah. Ketika seorang Qur’anicpreneur mencintai keluarganya, ia bekerja keras untuk menafkahi mereka dengan cara yang halal. Ketika ia mencintai perusahaannya, ia menumbuhkannya dengan nilai-nilai kebaikan. Ketika ia mencintai dunianya, ia memperindahnya dengan ibadah dan amal saleh. Semua cinta menjadi suci ketika berpusat pada cinta kepada Allah.
Inilah hakikat Qur’anicpreneurship — jalan cinta yang tidak terjebak dalam materi, melainkan menjadikan materi sebagai sarana mendekat kepada Sang Pemberi. Ia menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar hiasan di dinding, tetapi pedoman dalam menentukan strategi, etika, dan orientasi bisnis. Ia tahu bahwa keberhasilan sejati bukanlah ketika bisnisnya tumbuh besar, tetapi ketika hatinya tetap kecil di hadapan Allah; bukan ketika ia memiliki banyak harta, tetapi ketika hatinya lapang untuk berbagi; bukan ketika ia dielu-elukan banyak orang, tetapi ketika ia dicintai oleh Allah karena keikhlasannya.
Cinta yang sejati, sebagaimana diajarkan dalam QS. At-Taubah ayat 24, adalah cinta yang menundukkan segala hal kepada Allah. Ia menjadikan dunia sebagai ladang, bukan tujuan. Ia menyalakan semangat bekerja tanpa padamkan zikir. Ia menyatukan perdagangan dengan pengabdian, keuntungan dengan keberkahan, dan kesuksesan dengan keikhlasan. Dari cinta seperti inilah lahir insan-insan Qur’anicpreneur — pengusaha yang tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga menyalakan iman, yang tidak hanya membangun bisnis, tetapi juga membangun jiwa.
Ketika cinta kepada Allah menjadi dasar setiap keputusan bisnis, maka dunia menjadi saksi bahwa seorang Qur’anicpreneur telah menemukan makna sejati dari firman-Nya: “Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Sebab, keputusan Allah bagi hamba yang mencintai-Nya dengan tulus adalah petunjuk, keberkahan, dan ketenangan yang tidak dapat dibeli dengan apa pun di dunia. Dan di situlah letak keberhasilan yang hakiki — keberhasilan yang tidak berhenti di angka dan keuntungan, tetapi mengalir sebagai cahaya cinta yang menuntun menuju Allah.
Pesantren Raudhatul Irfan, 9 November 2025
.png)
0 Komentar