"Amanah, Fitnah, dan Keberkahan: Tafsir Quranicpreneur QS Al-Anfal 27–28 dalam Membangun Etos Bisnis Islami"

Penulis: Irfan Soleh


Dalam kehidupan manusia, amanah selalu menjadi pusat dari setiap gerakan yang berharga. Amanah adalah inti hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri. QS Al-Anfal ayat 27 datang sebagai panggilan lembut namun tegas, melarang kaum beriman mengkhianati Allah dan Rasul serta mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada mereka. Ayat ini turun sebagai cermin yang memantulkan kualitas diri seorang mukmin. Pengkhianatan bukan hanya soal membocorkan rahasia atau melanggar janji, tetapi juga termasuk mengabaikan tanggung jawab, gagal menjaga integritas, dan menyalahgunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi dengan cara yang tidak diridai Allah. Amanah adalah sesuatu yang melekat pada semua aspek kehidupan, termasuk dalam dunia usaha dan ekonomi.


Bagi seorang wirausahawan muslim atau quranicpreneur, ayat ini menjadi fondasi moral yang menentukan arah geraknya. Usaha bukan semata permainan angka, tetapi ruang ujian yang mengungkap siapa yang benar-benar memegang amanah dan siapa yang menyiasatinya. Kepercayaan menjadi aset paling berharga dalam bisnis. Ketika amanah dijaga, usaha tumbuh dengan berkah, kolega merasa aman, dan pelanggan percaya. Sebaliknya, ketika amanah dikhianati, usaha mungkin tampak berkembang sesaat, tetapi di baliknya menyimpan kehancuran yang perlahan merayap. Pengkhianatan dalam bisnis bisa muncul dalam bentuk manipulasi harga, menipu kualitas, mengurangi timbangan, menunda pembayaran, atau menyalahgunakan kepercayaan partner. Semua itu adalah cermin dari pelanggaran terhadap ayat ini. Dalam perspektif quranicpreneur, bisnis harus bergerak di atas landasan kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab, karena amanah adalah jantung dari keberkahan.


Setelah Allah memperingatkan agar tidak mengkhianati amanah, QS Al-Anfal ayat 28 mengingatkan bahwa harta dan anak-anak adalah fitnah, ujian yang memeriksa kualitas iman seseorang. Ini bukan pengingkaran terhadap nilai harta dan keluarga, tetapi penegasan bahwa keduanya memainkan peran besar dalam menggoyahkan atau meneguhkan integritas manusia. Seorang quranicpreneur tidak bisa memisahkan kecintaan kepada keluarga dari aktivitas bisnisnya. Justru cintanya kepada keluarga sering menjadi motivasi untuk bekerja keras dan membangun usaha. Namun ayat ini mengingatkan bahwa motivasi tersebut tidak boleh berubah menjadi alasan untuk menghalalkan cara, mengabaikan nilai, atau mengorbankan amanah.


Harta sebagai fitnah berarti bahwa keberlimpahan dan kekayaan bukan selalu bentuk kemuliaan, melainkan ujian yang memerlukan kebijaksanaan. Dalam bisnis, seseorang yang diberi kesempatan untuk memegang modal, menjalankan proyek, atau mengelola keuangan akan diuji sejauh mana keteguhan hatinya tetap terpelihara. Ada orang yang jujur ketika miskin, tetapi berubah ketika diberikan kelimpahan. Ada pula yang amanah ketika terikat aturan, tetapi mulai curang ketika dipercaya sepenuhnya. Ayat ini membuka kesadaran bahwa setiap transaksi ekonomi membawa ujian moral. Semakin besar usaha seseorang, semakin besar pula ujian fitnah harta yang harus ia lalui.


Keluarga juga menjadi ujian, bukan dalam arti negatif, tetapi sebagai penguji orientasi. Banyak orang akhirnya melanggar prinsip karena ingin menyenangkan keluarga atau mengejar gaya hidup tertentu. Ayat ini mengingatkan bahwa seorang quranicpreneur harus menjadikan keluarga sebagai sumber kekuatan spirit, bukan sumber tekanan yang menggiring kepada pelanggaran etika. Keluarga seharusnya menjadi alasan untuk menjaga kejujuran, bukan mengorbankannya. Anak-anak yang menjadi amanah seharusnya membuat seorang pengusaha semakin berhati-hati dalam mencari nafkah agar makanan yang masuk ke rumahnya benar-benar halal.


Kedua ayat ini jika digabungkan membentuk prinsip besar dalam wirausaha Islami. Pada ayat pertama, Allah menegaskan bahwa amanah adalah kompas utama. Pada ayat selanjutnya, Allah mengingatkan bahwa harta dan keluarga tidak boleh menggeser kompas tersebut. Dalam tafsir ulama, amanah mencakup segala aspek, mulai dari menjaga kejujuran, menepati janji, hingga menjaga rahasia dan tidak menyalahgunakan kepercayaan. Nilai-nilai ini sangat selaras dengan kepribadian quranicpreneur yang tidak hanya mengejar profit tetapi juga menjaga integritas dan keberkahan. Jika amanah hilang, hancurlah bangunan bisnis sekalipun secara kasat mata tampak megah.


Dalam perspektif quranicpreneur, wirausaha bukan hanya bergerak dengan logika ekonomi, tetapi juga dengan cahaya spiritual. Seorang pengusaha muslim yang memahami makna QS Al-Anfal 27–28 akan kuat menghadapi godaan dunia usaha. Ia akan berhati-hati ketika mendapatkan peluang yang tampak menguntungkan tetapi mengandung unsur kecurangan, karena ia sadar bahwa Tuhan mengawasinya. Ia akan memandang modal bukan sebagai miliknya, tetapi sebagai titipan. Ia akan menempatkan keluarga bukan sebagai alasan untuk mengambil yang bukan haknya, tetapi sebagai penerima manfaat dari rezeki halal yang dijaga dengan penuh kehormatan.


Akhirnya, ayat-ayat ini tidak hanya menjadi peringatan moral, tetapi juga menjadi strategi jangka panjang bagi siapa pun yang ingin membangun usaha yang kokoh dan penuh keberkahan. Amanah yang dijaga adalah fondasi kepercayaan publik. Kesadaran bahwa harta dan keluarga adalah ujian menjaga seorang pengusaha tetap rendah hati dan stabil dalam nilai. Dengan menggabungkan keduanya, lahirlah sosok quranicpreneur yang teguh, bijak, tangguh, dan berkah. Bisnisnya bukan sekadar alat mencari keuntungan, tetapi jalan untuk memuliakan amanah Allah, menegakkan etika, dan mengukuhkan peradaban ekonomi yang lebih bersih, bermartabat, dan manusiawi.


Pesantren Raudhatul Irfan, 18 November 2025