Santri Sālikun Ilallāh: Jalan Ruhani Menuju Allah Melalui Ilmu dan Pengabdian

Penulis: Irfan Soleh


Ketika kita menyebut kata santri, sering kali yang terlintas di benak adalah seseorang yang belajar di pesantren, mengenakan sarung, menimba ilmu agama, dan hidup sederhana. Namun, lebih dari sekadar simbol budaya, santri adalah sebuah identitas ruhani—sebuah perjalanan menuju Allah yang ditempuh dengan ilmu, amal, dan keikhlasan.


Dalam bahasa tasawuf, santri sejati bukan hanya penuntut ilmu (ṭālib al-‘ilm), tetapi juga sālik ilallāh (سَالِكٌ إِلَى اللهِ) — penempuh jalan menuju Allah. Jalan itu ditempuh melalui pendidikan hati, pengendalian nafsu, dan pengabdian kepada sesama. Setiap langkahnya adalah perjalanan spiritual menuju kedekatan dengan Sang Khalik.


Allah Ta‘ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ

“Wahai manusia, sesungguhnya engkau telah berjuang sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti engkau akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqāq [84]: 6)


Ayat ini menggambarkan bahwa setiap manusia, termasuk santri, sejatinya sedang berjalan menuju Allah. Perjalanan itu bisa berat, penuh perjuangan dan ujian, namun di ujung jalan, ada perjumpaan dengan-Nya. Itulah hakikat kesantrian — berjalan menuju Tuhan dengan penuh kesadaran dan cinta.


S = Sālikun Ilallāh (Penempuh Jalan Menuju Allah)


Santri bukan sekadar siswa yang menuntut ilmu agama, tetapi seorang musafir ruhani. Ia menempuh jalan menuju Allah dengan sabar, ikhlas, dan istiqamah. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ

“Barang siapa menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, maka Allah jadikan kekayaan di hatinya.” (HR. Tirmidzi)


Santri sejati adalah mereka yang hatinya tertambat pada Allah, bukan pada dunia. Mereka belajar bukan semata untuk gelar, tetapi untuk ridha. Mereka mengaji bukan hanya membaca teks, tetapi memahami makna, menumbuhkan cinta, dan menyalakan cahaya iman dalam dada.


A = ‘Ālimun bi al-‘Ilm (Orang yang Berilmu)


Perjalanan menuju Allah tidak mungkin tanpa ilmu. Santri menempuh jalan ilmu agar dapat mengenal Tuhannya. Karena dengan ilmu, mata hati terbuka dan kegelapan kebodohan sirna. Allah Ta‘ala berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar [39]: 9)


Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

(HR. Muslim)


Maka pesantren menjadi madrasah ilmu dan adab. Di sanalah santri belajar bukan hanya apa yang benar, tapi juga bagaimana menjadi benar. Ia tidak hanya menghafal, tapi juga memaknai; tidak hanya memahami, tapi juga menghidupi ilmunya dalam amal dan perilaku.


N = Nāfi‘un li al-Ummah (Bermanfaat bagi Umat)


Ilmu tanpa manfaat hanyalah kesombongan yang tersembunyi. Santri sejati menjadikan ilmunya sebagai sumber keberkahan bagi sesama. Mereka adalah rahmat yang turun bagi masyarakat, sumber kesejukan di tengah kegersangan moral zaman.


Allah berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 110)

Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)


Inilah ruh pengabdian santri. Mereka tidak sekadar menimba ilmu untuk diri sendiri, tapi juga menyalakan lentera di tengah masyarakat. Mereka mengabdi dengan pengajaran, dakwah, sosial, dan keteladanan. Ilmunya tidak berdiam di kitab, tetapi hidup di hati dan amal nyata.


T = Tābi‘un li as-Sunnah (Pengikut Sunnah Nabi ﷺ)


Dalam setiap langkahnya, santri meneladani Rasulullah ﷺ sebagai figur kesempurnaan akhlak. Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sungguh, pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. Al-Ahzāb [33]: 21)

Dan Nabi ﷺ bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ

“Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Dawud)


Santri belajar adab sebelum ilmu, meniru akhlak Nabi sebelum memperbanyak hafalan. Mereka meneladani kejujuran Nabi, kesederhanaannya, kasih sayangnya, dan keteguhannya dalam dakwah. Sunnah menjadi jalan hidup yang menuntun ke ridha Allah.


R = Rāghibun fi al-Khayr (Berhasrat dalam Kebaikan)


Santri sejati memiliki semangat beramal tanpa henti. Ia tidak puas hanya dengan ilmu, tapi ingin memberi manfaat dan menebar kebajikan. Allah berfirman:

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 148)


Setiap langkah santri adalah kompetisi menuju ridha Allah. Ia berlomba dalam sedekah, dalam dakwah, dalam menebar manfaat, bukan untuk pujian, tapi untuk cinta Ilahi. Dalam dirinya, ada energi positif yang menular: semangat memperbaiki diri dan masyarakat.


I = Ikhlāṣun liLlāh (Ikhlas karena Allah)


Puncak dari semua perjalanan kesantrian adalah ikhlas. Segala amal, perjuangan, dan pengorbanan hanya bernilai jika diniatkan karena Allah semata. Allah Ta‘ala menegaskan:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Dan mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan ikhlas menjalankan agama bagi-Nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5) Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapat sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Ikhlas adalah inti ruhani santri. Ia belajar, berdakwah, mengabdi, bukan demi penghormatan, tapi demi ridha Tuhan. Di sinilah kesantrian mencapai maqām tertinggi: menjadi hamba yang tenang, yang seluruh hidupnya menjadi ibadah.


Penutup: Jalan Panjang Menuju Allah


Jika setiap huruf dalam kata SANTRI kita renungkan, maka akan tampak bahwa kesantrian adalah manhaj sulūk—sebuah jalan spiritual menuju Allah. Santri adalah sālikun ilallāh, ‘ālimun bi al-‘ilm, nāfi‘un li al-ummah, tābi‘un li as-sunnah, rāghibun fi al-khayr, dan mukhliṣun lillāh.

Mereka bukan hanya pembelajar, tapi juga pejuang dan pengamal. Bukan hanya penghafal dalil, tapi penebar rahmat.

Bukan hanya pengisi pesantren, tapi penjaga peradaban.

Mereka menapaki jalan yang disebut oleh para sufi: ṭarīq ilallāh — jalan menuju Allah yang ditempuh dengan ilmu, amal, dan adab. Dan di ujung perjalanan panjang itu, ada cahaya, ada kedekatan, dan ada keindahan bertemu dengan-Nya.


Pesantren Raudhatul Irfan, 17 Oktober 2025