Menemukan Ruh Tasawuf dalam Matan Jurumiyah: Fal Ismu Yu‘rafu Bil-Khafdhi wa-T-Tanwīni wa-Dukhūli l-Alifi wa-l-Lāmi
Penulis: Irfan Soleh
Dalam dunia gramatika Arab, matan al-Jurumiyah sering dianggap sebagai pintu masuk bagi para penuntut ilmu untuk memahami struktur bahasa Al-Qur’an. Namun bagi seorang salik, kalimat dalam kitab kecil itu bukan hanya kaidah linguistik, melainkan juga hikmah ruhani. Salah satu bagian yang paling sederhana namun sarat makna ialah:
"فَالِاسْمُ يُعْرَفُ بِالْخَفْضِ وَالتَّنْوِينِ وَدُخُولِ الْأَلِفِ وَاللَّامِ"
(Maka isim itu dikenal dengan tanda khafad, tanwin, dan masuknya alif-lam.)
Secara nahwu, kaidah ini menjelaskan cara mengenali sebuah kata benda (isim). Ia dikenali dengan tiga tanda utama: kasrah (atau khafad), tanwin, dan kemasukan alif-lam. Tapi di balik struktur bahasa itu, tasawuf memandangnya sebagai isyarat simbolik perjalanan ruhani manusia menuju ma’rifatullah — bagaimana seorang hamba dikenal oleh Allah dan dikenal di sisi-Nya.
Pertama, “bil-khafdhi” (dengan khafad atau kerendahan).
Isim dikenal dengan khafad, dan begitu pula insan dikenal oleh Allah dengan kerendahan hatinya. Dalam ilmu gramatika, huruf jar membuat isim turun; dalam ilmu hakikat, kehadiran Allah dalam hati membuat seorang hamba merendah. Semakin ia “menurun” dalam keangkuhan dirinya, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah. Inilah hakikat tawadhu‘. Dalam dunia bahasa, tanda khafad membuat kalimat indah; dalam dunia ruh, tanda rendah hati membuat kehidupan indah di hadapan Rabbul ‘Izzah. Bukankah Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ»
"Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikannya." (HR. Muslim). Maka, seorang salik yang ingin “dikenal” oleh Tuhannya harus belajar menurunkan dirinya — bukan dalam kehinaan, tapi dalam kesadaran akan kebesaran Allah. Khafad adalah simbol fana dari ego.
Kedua, “wat-tanwīni” (dan dengan tanwin).
Tanwin adalah tanda yang menunjukkan ketidakbermilikan, ketidakmenetapan. Isim yang ditanwinkan belum dimiliki oleh alif-lam, ia masih “tanpa ikatan”. Dalam tafsir ruhani, tanwin melambangkan keadaan hamba yang tidak terikat oleh dunia, tidak terkurung oleh status, nama, atau pujian. Ia bebas dari klaim dan kepemilikan.
Seorang salik yang masih menggenggam kepemilikan — “milikku”, “karyaku”, “pencapaianku” — belum mengenal tanwin rohaninya. Tanwin mengajarkan zuhud: bahwa semua selain Allah adalah sementara. Dalam tanwin ada dua bunyi — an, in, un — dan dalam setiap bunyi itu ada pengingat bahwa dunia hanyalah gema, bukan sumber suara.
Ketiga, “wa dukhūli l-alifi wa-l-lāmi” (dan dengan masuknya alif-lam).
Inilah puncak pengenalan ruhani. Ketika alif-lam masuk ke dalam isim, ia menjadi ma‘rifah — dikenal, tertentu, dan istimewa. Dalam tasawuf, alif adalah isyarat kepada Allah, Sang Esa, tegak lurus dan tanpa bengkok. Lam adalah isyarat kepada cinta dan lembutnya kasih-Nya. Maka ketika alif-lam masuk ke dalam isim, seolah ruh hamba disinari cahaya tauhid dan kasih sayang Ilahi. Ketika hamba telah menanggalkan tanwin kesendirian dan menundukkan diri dengan khafad, barulah ia layak dimasuki oleh alif-lam — yaitu limpahan makrifat dan tajalli dari Allah. Ia pun menjadi insan ma‘rifah, dikenal oleh Allah
Maka seluruh kaidah itu, dari “khafad” hingga “alif-lam”, adalah peta perjalanan ruhani. Awalnya seorang hamba belajar merendah, lalu membersihkan diri dari kepemilikan, hingga akhirnya menjadi wadah yang layak bagi cahaya tauhid. Seperti kata para arifin, “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” — barang siapa mengenal dirinya (dengan kerendahan dan kefanaan), maka ia mengenal Tuhannya.Apakah mungkin seseorang dikenal oleh Allah tanpa pernah menundukkan dirinya, melepaskan keakuannya, dan membiarkan alif-lam cinta Ilahi masuk dalam kalbunya?
Pesantren Raudhatul Irfan, 25 Oktober 2025
 
.png)
 
0 Komentar