Makna Tersirat di Balik Huruf Jar: Menyelami Hakikat Asliyah dan Zaidah dalam Cahaya Tasawuf dan Qur’anicpreneur
Penulis: Irfan Soleh
Dalam ilmu nahwu, setiap huruf memiliki posisi dan fungsi yang sangat halus. Huruf-huruf jar — yang dikenal juga sebagai ḥurūf al-jarr (حروف الجرّ) — adalah di antara partikel kecil yang sering luput dari perhatian, namun sejatinya menyimpan hikmah yang dalam. Para ulama nahwu membaginya menjadi dua jenis besar: huruf jar asliyah dan huruf jar zaidah. Bila dilihat sekilas, keduanya hanya berbeda dalam fungsi i‘rab dan makna. Namun bila dibaca dengan mata hati — sebagaimana para sufi dan Qur’anicpreneur membaca tanda-tanda Allah di semesta dan dalam diri — perbedaan ini bukan sekadar gramatikal, melainkan spiritual dan filosofis.
Huruf Jar Asliyah: Makna yang Menghubungkan
Huruf jar asliyah disebut asliyah karena fungsinya asli dan nyata, memberikan makna yang konkret pada kata sesudahnya. Ia tidak bisa dihapus dari kalimat tanpa merusak arti. Seperti huruf bi (بِـ) yang berarti “dengan”, fi (في) yang berarti “di dalam”, min (من) yang berarti “dari”, dan seterusnya.
Contoh:
مَرَرْتُ بِزَيْدٍ
Aku lewat di tempat Zaid.
Huruf bi di sini menunjukkan hubungan nyata antara pelaku dan tempat — antara “aku” dan “Zaid”. Ia adalah penghubung makna, perantara yang mewujudkan hubungan antar realitas.
Dalam perspektif tasawuf, huruf jar asliyah melambangkan keterhubungan wujud antara makhluk dan makhluk, antara sebab dan akibat, antara usaha dan hasil. Allah menciptakan alam ini dengan sistem asbab (sebab-akibat), dan manusia diberi akal untuk membaca, memahami, dan memanfaatkan keterhubungan itu — tanpa lupa bahwa di baliknya ada Yang Maha Menghubungkan.
Seorang Qur’anicpreneur — pengusaha yang berjiwa Qur’ani — memahami bahwa huruf jar asliyah adalah simbol kerja nyata dan keterhubungan sebab yang sah dalam syariat. Ketika ia berkata, “Aku memperoleh rezeki melalui usahaku,” maka kata “melalui” di situ adalah huruf jar asliyah: ia menunjukkan sebab yang benar dan berfungsi. Namun, ia tetap sadar bahwa usaha hanyalah asbab, bukan sumber mutlak rezeki. Huruf jar asliyah mengajarkan kita adab terhadap sebab, yaitu mengakui fungsi lahiriah sebab tanpa menuhankannya.
Huruf Jar Zaidah: Keberadaan yang Meniadakan Diri
Berbeda dengan asliyah, huruf jar zaidah disebut demikian karena keberadaannya tidak menambah makna baru. Ia hanya memperindah kalimat, menegaskan makna, atau memberi penekanan emosional. Jika dihapus, makna kalimat tidak berubah secara hakikat.
Contoh:
مَا جَاءَنِي مِنْ أَحَدٍ
Tidak seorang pun datang kepadaku.
Huruf min di sini tidak berarti “dari” seperti biasanya, melainkan hanya berfungsi menegaskan ketiadaan mutlak. Ia tidak menambah makna, bahkan “meniadakan dirinya sendiri”.
Inilah keindahan huruf jar zaidah dalam pandangan tasawuf: ia hadir, tapi tidak menonjolkan diri. Ia menegaskan makna, tapi tidak menjadi pusat makna. Ia ada secara lafaz, tapi fana secara hakikat.
Bagi para sufi, ini adalah simbol dari keberadaan hamba sejati. Seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus seperti huruf jar zaidah: ia hadir dalam sistem kehidupan, namun tidak mengklaim peran utama. Ia menjadi jalan bagi makna ilahi, tapi tidak menganggap dirinya sumber makna.
Sebagaimana min dalam ayat di atas menegaskan “tidak ada siapa pun”, demikian pula seorang hamba yang telah sampai pada maqam ikhlas menegaskan: tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Ia menjadi “huruf kecil” dalam kalimat kehidupan, namun justru dengan kerendahannya itu, ia memperkuat makna keagungan Allah.
Huruf Jar dalam Jalan Qur’anicpreneurship
Dalam ekosistem Qur’anicpreneur, kedua jenis huruf jar ini membentuk keseimbangan spiritual dan praktis. Seorang santri yang berbisnis dengan ruh Al-Qur’an memahami bahwa setiap kerja ekonomi adalah ayat Allah yang bisa dibaca. Ketika ia menyusun jaringan distribusi, mencari bahan baku, atau melatih marketer, ia sedang menulis “kalimat-kalimat sebab” seperti huruf jar asliyah-menghubungkan berbagai elemen kehidupan. Namun ketika ia sudah berikhtiar dan hasil belum tampak, ia belajar menjadi huruf jar zaidah: tetap hadir, tetap berfungsi, tapi menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah.
Seperti firman-Nya:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Ayat ini menegaskan hukum sebab — asliyah. Namun Allah melanjutkan:
ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ
“Kemudian akan diberi balasan yang sempurna.” (An-Najm: 41). Balasan itu bukan semata dari sebab, tapi dari taufiq dan rahmat Allah — zaidah.
Penutup: Menjadi Huruf dalam Kalimat Kehidupan
Dalam kehidupan santri, pebisnis, dan pendakwah, kita sering dihadapkan pada dua sisi yang tampak bertentangan: bekerja keras tapi tetap berserah diri. Huruf jar asliyah dan zaidah mengajarkan bahwa keduanya bukan pertentangan, melainkan tata bahasa spiritual yang saling melengkapi. Asliyah mengajarkan: Engkau harus berfungsi. Zaidah mengajarkan: Engkau harus meniadakan dirimu. Dan ketika dua hal ini menyatu, lahirlah insan Qur’anicpreneur sejati, yang bekerja dengan profesionalitas, namun hatinya tenggelam dalam makna iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn: hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 11 Oktober 2025
0 Komentar