Makna “Mā Nakirah Maushūfah” dalam Kalimat Jurumiyah: Membaca Gramatika dengan Rasa Ruhani

Penulis: Irfan Soleh


Dalam permulaan pembahasan tentang pembagian kalimat, Syaikh Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji—penyusun Al-Jurumiyah—menulis:

والحرف ما لا يصلح معه دليل الاسم ولا دليل الفعل

“Huruf adalah sesuatu (ma) yang tidak layak bersamanya tanda isim dan tidak pula tanda fi‘il.” Kalimat pendek ini telah menjadi pintu pertama bagi setiap penuntut ilmu nahwu untuk memahami tiga jenis kalam: isim, fi‘il, dan huruf. Namun, di balik kelugasan definisi itu, tersembunyi satu perdebatan menarik yang menunjukkan keindahan gramatika Arab: kata “مَا” (mā) dalam definisi tersebut — apakah ia isim maushūl atau nakirah maushūfah?


Dua Tafsir Nahwiyah terhadap “Mā”


Para ulama nahwu berbeda pendapat: Sebagian mengatakan: mā di situ adalah isim maushūl, artinya “yang”.

Maka maknanya: “Huruf adalah [sesuatu] yang tidak layak bersamanya tanda isim dan tanda fi‘il.” Sebagian lain berpendapat: mā di situ adalah nakirah maushūfah, artinya “sesuatu yang…” secara umum. Maka maknanya: “Huruf adalah sesuatu yang tidak layak bersamanya tanda isim dan tanda fi‘il.” Perbedaan ini tampak sepele, namun dalam dunia nahwu, pilihan satu huruf bisa mengubah kedalaman makna dan arah pemahaman.


Dari Perspektif Nahwu: Perbedaan Rasa antara Maushūlah dan Nakirah Maushūfah


Ketika mā dianggap isim maushūl, maka definisi tersebut menjadi lebih terbatas dan spesifik. Ia menunjuk kepada jenis tertentu dari huruf—yakni sesuatu yang bisa dikenali melalui sifat yang menyertainya. Maknanya seperti “huruf itu adalah yang tidak bisa menerima tanda isim dan fi’il”.

Namun bila mā dianggap nakirah maushūfah, maka maknanya lebih umum dan abstrak: “huruf itu adalah sesuatu (apa pun bentuknya) yang tidak dapat disertai tanda isim atau fi‘il.”


Kata “sesuatu” memberi nuansa universality—segala bentuk huruf, apapun jenisnya, selama tidak menerima tanda-tanda isim dan fi‘il, termasuk di dalam definisi itu. Oleh karena itu, banyak ulama nahwu seperti Syaikh Khalid al-Azhari dalam Syarh al-Jurumiyah menegaskan bahwa mā di sini lebih tepat dipahami sebagai nakirah maushūfah, karena konteksnya adalah definisi umum, bukan pembatasan tertentu.


Kedalaman Filosofis Nahwu: Huruf sebagai "Mā Lā Yaṣluḥ"


Frasa "mā lā yaṣluḥ ma‘ahu dalīlu al-ism wa lā dalīlu al-fi‘l" berarti “sesuatu yang tidak layak (tidak cocok) untuk disertai tanda isim maupun tanda fi’il.” Artinya, huruf itu hidupnya bergantung pada yang lain; ia tidak memiliki makna independen. Huruf tidak dapat berdiri sendiri, tetapi hanya berfungsi ketika bersanding dengan isim atau fi‘il—seperti fi, min, ila, ‘ala, dan sebagainya. Huruf itu ibarat bayangan yang mengikuti cahaya kata lain, bukan cahayanya sendiri.


Perspektif Tasawuf: Huruf sebagai Simbol Kehambaan


Jika kita melihat dengan mata ruhani, huruf yang didefinisikan sebagai “mā lā yaṣluḥ” itu justru menggambarkan hakikat kehambaan (ubūdiyyah). Huruf tidak bisa berdiri sendiri, sebagaimana makhluk tidak bisa eksis tanpa Tuhan. Huruf hanya berfungsi ketika menyatu dengan kalimat, sebagaimana manusia hanya bermakna ketika bersandar pada kalimat tauhid. Ketika Syaikh menjelaskan “wal ḥarfu mā lā yaṣluḥ…”, beliau seakan mengajarkan bahwa hakikat ilmu bahasa pun mencerminkan tauhid: Isim melambangkan dzat – yang memiliki eksistensi dan identitas. Fi‘il melambangkan perbuatan – yang menunjukkan gerak dan kehendak. Huruf melambangkan nisbah dan hubungan – yang hanya hidup bila melekat pada dzat atau perbuatan.


Maka, mā nakirah maushūfah di sini bukan sekadar definisi nahwu, tetapi juga isyarat spiritual: Bahwa segala “sesuatu” (mā) yang tidak memiliki “tanda” (dalīl) sendiri, hakikatnya bergantung pada Yang Maha Berdiri Sendiri (al-Qayyūm). Huruf dalam dunia bahasa seperti hamba dalam dunia ruh: tak punya daya tanpa sandaran.


Perspektif Qur’anicpreneur: Makna “Ma Nakirah Maushufah” dalam Dunia Usaha Santri


Bila kita membaca mā nakirah maushūfah dengan kesadaran Qur’anicpreneur, maknanya bisa menjelma menjadi prinsip bisnis yang dalam. Huruf—yang tidak bisa berdiri sendiri—adalah simbol kolaborasi, sinergi, dan jaringan. Ia tidak kuat karena dirinya, tapi karena ia menghubungkan yang lain. Begitu pula seorang santripreneur: ia tidak menjadi besar karena dirinya sendiri, melainkan karena kemampuannya menghubungkan nilai, produk, dan maslahat.


Ia seperti huruf “ba” dalam Bismillah—kecil bentuknya, tapi menjadi pintu keberkahan ketika melekat pada nama Allah.

“Mā nakirah maushūfah” mengajarkan bahwa dalam bisnis syariah, yang terpenting bukanlah mencari nama besar (dalīl al-ism), dan bukan pula hanya mengejar gerak cepat (dalīl al-fi‘l), tetapi menjaga relasi yang bernilai—membangun jejaring seperti huruf yang menjadi pengikat makna. Huruf yang kecil namun bersambung dapat membentuk ayat suci. Demikian pula usaha kecil yang terhubung dalam jaringan Qur’anicpreneur bisa melahirkan sistem ekonomi yang berkah dan berdaya.


Simbolisme Bahasa sebagai Cermin Kehidupan


Perbedaan antara mā maushūlah dan mā nakirah maushūfah mengajarkan bahwa: Mā maushūlah menandakan sesuatu yang sudah ditentukan. Mā nakirah maushūfah menandakan potensi yang terbuka, sesuatu yang bisa menjadi apa saja sesuai sifatnya. Dalam kehidupan, seorang santri Qur’anicpreneur hendaknya menjadi seperti mā nakirah maushūfah: bukan hanya “yang tertentu”, tapi “sesuatu yang terus tumbuh sesuai sifat baiknya.” Ia tidak membatasi diri pada satu bentuk, tetapi bersedia menjadi wadah kebaikan yang disifati oleh amal, niat, dan kebermanfaatan.


Penutup Reflektif


Ketika Syaikh Ash-Shanhaji menulis, “wal ḥarfu mā lā yaṣluḥ ma‘ahu dalīlu al-ism wa lā dalīlu al-fi‘l”, beliau seolah mengajarkan dua hal sekaligus: bahwa ilmu bahasa bukan sekadar membedakan kata, tetapi juga membaca hakikat kehidupan. Huruf yang “tidak layak bersamanya tanda isim dan fi‘il” adalah pengingat agar manusia tidak sombong dengan tanda-tanda, sebab hakikat dirinya adalah mā — sesuatu yang tak bermakna tanpa sifat dan hubungan dengan Tuhan. Dan ketika mā itu kita pahami sebagai nakirah maushūfah, ia menjadi lambang potensi tanpa batas: “sesuatu yang…” bisa disifati oleh apa pun — tergantung amal dan niat kita. Maka, pertanyaan bagi setiap penuntut ilmu adalah: Apakah kita ingin menjadi mā maushūlah—yang terbatas pada makna tertentu, atau mā nakirah maushūfah—yang membuka diri untuk disifati oleh amal-amal yang baik?


Pesantren Raudhatul Irfan, 13 Oktober 2025