Makna Isim, Fi’il, dan Huruf dalam Tasawuf dan Quranicpreneur
penulis: Irfan Soleh
Dalam kitab al-Jurumiyah, kalam dibagi menjadi tiga: isim, fi’il, dan huruf. Namun, apakah ketiga pembagian ini hanya sekadar kaidah tata bahasa Arab, ataukah di baliknya tersimpan rahasia perjalanan spiritual seorang hamba dalam mendekat kepada Allah SWT? Pertanyaan inilah yang membawa kita menyelami makna isim, fi’il, dan huruf dari perspektif tasawuf — sebuah pandangan yang membuka mata bahwa bahasa ternyata bukan sekadar sarana komunikasi, tetapi juga cermin hubungan antara manusia dan Tuhannya, bahkan menjadi pedoman batin bagi seorang Quranicpreneur dalam membangun kesadaran spiritual di dunia usaha.
Dalam pandangan tasawuf, isim bermakna dzikrul ismil mufrad, yakni menyebut nama tunggal: Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Muzzammil ayat 3, وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا — “Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” Dzikir bukan hanya gerakan lidah, tetapi perjalanan menuju pemutusan total dari segala sesuatu selain Allah. Saat seorang murid senantiasa mengucap nama Allah, maka dzikir itu akan meresap dalam darah dan dagingnya, mengalir ke seluruh sel tubuhnya, hingga cahaya asma Allah memancar dalam setiap bagian dirinya. Pada tingkat itu, dzikir bukan lagi ucapan, melainkan keadaan. Ia berpindah dari dzikir lisan menuju dzikir qalbi, dari qalbi menuju ruhani, lalu ke dzikir sirri hingga sampai pada maqam asy-syuhud wal ‘iyān, yakni penyaksian hakikat Ilahi secara langsung.
Bagi seorang Quranicpreneur, isim mengandung makna bahwa setiap usaha dan pekerjaan harus berpusat pada nama Allah. Nama-Nya menjadi sumber makna, orientasi, dan arah dari seluruh aktivitas ekonomi. Ketika nama Allah dihadirkan dalam hati, bisnis tidak lagi menjadi alat pencarian dunia semata, melainkan jalan pengabdian dan penyebaran manfaat. Seorang pengusaha Qurani menjadikan nilai-nilai ilahiah sebagai merek sejati dari usahanya: kejujuran, keadilan, dan pelayanan yang membawa keberkahan. Ia bekerja bukan untuk memperbanyak angka, tetapi untuk memperluas makna ibadah.
Sementara fi’il dalam tasawuf dimaknai sebagai perbuatan memerangi hawa nafsu. Inilah dimensi thariqah — jalan perjuangan yang menuntut kerja keras, kedisiplinan, dan pengendalian diri. Ibnu ‘Athoillah dalam al-Hikam berkata: كَيْفَ تُخْرَقُ لَكَ الْعَوَائِدُ وَأَنْتَ لَمْ تَخْرِقْ مِنْ نَفْسِكَ الْعَوَائِدَ — “Bagaimana mungkin kebiasaan dunia bisa terobek darimu, sementara engkau belum merobek kebiasaan buruk dari dirimu sendiri?” Nafsu yang paling berat untuk ditaklukkan adalah cinta terhadap kepemimpinan, kehormatan, dan harta. Karena itu, seorang salik harus mengubur egonya di tanah ketidaktenaran sebagaimana pesan Ibnu ‘Athoillah: ادْفِنْ وُجُودَكَ فِي أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَاجُهُ — “Kuburlah dirimu di tanah ketidaktenaran, sebab sesuatu yang tumbuh tanpa pernah dipendam tidak akan sempurna hasilnya.”
Makna fi’il inilah yang menjadi ruh bagi seorang Quranicpreneur dalam menjalankan usahanya. Dunia bisnis adalah arena mujahadah; tempat di mana seseorang berjuang melawan ego, keserakahan, dan kesombongan. Pengusaha Qurani tidak menuntut ketenaran, melainkan keberkahan. Ia bekerja keras bukan karena dorongan pamrih, melainkan karena dorongan pengabdian. Dalam kesibukannya, ia tetap menjaga adab, menundukkan hawa nafsu, dan menanam keikhlasan. Ia mengerti bahwa keberhasilan sejati bukan pada banyaknya keuntungan, melainkan pada sejauh mana usahanya menjadi jalan menuju Allah SWT.
Adapun huruf dalam tasawuf adalah kecondongan hati, arah niat, dan cita-cita spiritual yang menggerakkan seorang hamba. Huruf adalah getaran batin yang menentukan ke mana arah perjalanan seseorang: apakah ia bergerak dengan cahaya (huruf nurani), atau terjebak dalam kegelapan (huruf dzulmani). Huruf nurani adalah keinginan yang dipenuhi cahaya petunjuk — ath-thama‘ fil wushul ilallāh aw ilā ridhwānihī — hasrat untuk sampai kepada Allah dan keridhaan-Nya. Sedangkan huruf dzulmani adalah keinginan yang digelapkan oleh hawa nafsu, yakni ambisi untuk mencapai kebahagiaan duniawi yang fana.
Dalam kehidupan Quranicpreneur, huruf menjadi simbol niat yang paling halus dan paling menentukan. Niat yang bercahaya akan melahirkan langkah-langkah penuh keberkahan, sedangkan niat yang gelap hanya melahirkan keserakahan dan kehampaan. Seorang pengusaha Qurani harus selalu memeriksa huruf-huruf hatinya: apakah ia menjalankan usahanya demi manfaat umat atau demi kepuasan pribadi. apakah ia menjadikan bisnisnya sebagai wasilah wushul ilalloh atau tidak karena huruf atau kecondongan hati seorang quranicpreneur adalah melalui bisnis dan usahanya ia bisa terus berjalan mendekati dan sampai pada Allah SWT
Dengan demikian, isim, fi’il, dan huruf dalam pandangan tasawuf bukan sekadar unsur kalam, melainkan tiga dimensi perjalanan ruhani yang juga dapat diterapkan dalam kehidupan ekonomi. Isim melahirkan kesadaran dzikir dan orientasi spiritual (syariat), fi’il menumbuhkan mujahadah dan perjuangan etis (thariqah), sementara huruf menuntun pada penyucian niat, wushul dan penyaksian hakikat (hakikat). Ketiganya berpadu membentuk pribadi Quranicpreneur sejati — insan yang berdzikir dalam kerja, berjuang dalam kesabaran, dan meniatkan segalanya hanya untuk Allah SWT.
Pesantren Raudhatul Irfan, 18 Oktober 2025
0 Komentar