Makna “Bertebaran di Muka Bumi”: Tafsir Quranicpreneurship QS Al-Jumu‘ah Ayat 10
Penulis: Irfan Soleh
Ada satu ayat dalam Al-Qur’an yang tampak sederhana, tetapi menyimpan spirit besar tentang kerja, kreativitas, dan tanggung jawab sosial. Ayat itu berbunyi, “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah...” (QS. Al-Jumu‘ah: 10). Kalimat yang ringkas ini sesungguhnya menggambarkan keseimbangan ideal antara dunia spiritual dan dunia material, antara mihrab dan pasar, antara doa dan kerja, antara sujud dan produksi.
Ayat ini turun untuk menata ritme hidup seorang mukmin. Hidup tidak hanya diisi oleh ibadah ritual yang menenangkan jiwa, tetapi juga oleh aktivitas ekonomi yang menghidupi banyak manusia. “Bertebaranlah di muka bumi” bukan sekadar perintah untuk bekerja, tetapi sebuah ajakan untuk bergerak, menjelajah, dan berinovasi. Dalam bahasa Al-Qur’an, kata fantasyirū (bertebaranlah) menunjukkan gerak yang dinamis, luas, dan menyeluruh — seakan Allah menghendaki agar umat Islam tidak stagnan di satu titik, tetapi menjadi manusia yang menebar manfaat di berbagai penjuru kehidupan.
Seorang entrepreneur sejati membaca ayat ini bukan sebagai instruksi duniawi semata, tetapi sebagai manifesto spiritual untuk produktivitas. Setelah menunaikan shalat — simbol kesadaran vertikal dengan Allah — ia melangkah keluar menapaki bumi dengan kesadaran horizontal: memberi, membangun, dan menebar karunia. Maka, seorang Qur’anicpreneur tidak pernah memisahkan antara ibadah dan usaha. Ia menyadari bahwa bekerja dengan jujur, mencipta lapangan pekerjaan, atau mengelola sumber daya alam secara amanah, semuanya adalah bagian dari ibadah.
Kalimat selanjutnya dalam ayat ini, “...dan carilah karunia Allah (wa btaghū min fadhlillāh)”, memberi pesan yang sangat dalam. Rezeki bukanlah sesuatu yang selalu jatuh dari langit; ia harus dicari, diupayakan, dan diperjuangkan. Tetapi Al-Qur’an menyebutnya sebagai fadh-lillah — karunia Allah — bukan semata hasil kerja manusia. Ini menunjukkan bahwa entrepreneurship dalam Islam tidak berangkat dari kesombongan, melainkan dari kesadaran bahwa manusia hanyalah perantara dalam sistem rezeki Allah. Usaha manusia hanyalah jembatan; karunia sejati datang dari Yang Maha Pemberi.
Ayat ini juga mengajarkan sense of timing dalam entrepreneurship. Ada waktu untuk sujud, dan ada waktu untuk bekerja. Islam tidak mengajarkan asketisme ekstrem yang menjauh dari dunia, tetapi juga tidak mendorong materialisme yang menafikan spiritualitas. Dalam keseimbangan inilah seorang pengusaha Muslim menapaki jalan tengah: bekerja tanpa lalai, beribadah tanpa melupakan tanggung jawab dunia. Itulah harmoni antara dzikir dan fikir, antara spiritualitas dan profesionalitas.
Lebih dari itu, perintah “bertebaran di muka bumi” juga mengandung makna kemandirian dan keberanian menjelajah peluang. Entrepreneur Qur’ani tidak takut untuk keluar dari zona nyaman, tidak menunggu peluang datang, tetapi menciptakan peluang baru dengan semangat inovasi. Ia sadar bahwa bumi Allah begitu luas dan penuh potensi, sebagaimana ditegaskan pula dalam QS. Al-Mulk ayat 15: “Berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” Dengan kata lain, seorang mukmin yang hanya diam tanpa berusaha, sesungguhnya belum memahami makna “fantasyirū” yang diperintahkan Allah.
Namun, yang paling indah dari ayat ini adalah penutupnya: “Dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu‘ah: 10, bagian akhir). Seakan Allah ingin menegaskan bahwa keberkahan ekonomi tidak hanya lahir dari kerja keras, tetapi dari dzikir yang hidup di dalam hati. Seorang entrepreneur boleh bertebaran ke seluruh penjuru dunia, tetapi ia tidak boleh kehilangan arah; ia harus tetap terhubung dengan Allah. Di sinilah letak keseimbangan yang menjadi ciri khas Qur’anicpreneur: kaki di bumi, hati di langit.
Maka, tafsir entrepreneurship dari QS. Al-Jumu‘ah ayat 10 bukanlah tentang sekadar membuka usaha, berdagang, atau mengembangkan pasar, tetapi tentang membangun kesadaran bahwa kerja adalah ibadah dan usaha adalah bagian dari penghambaan. Dalam pandangan ini, toko menjadi masjid kedua, meja kerja menjadi mihrab produktivitas, dan setiap transaksi menjadi amal yang dicatat oleh malaikat.
Itulah mengapa Rasulullah ﷺ bersabda, “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” Hadis ini seakan menjelaskan makna tersembunyi dari ayat tersebut: bahwa aktivitas ekonomi yang dijalankan dengan niat ibadah akan meninggikan derajat spiritual seseorang sebagaimana ibadah-ibadah yang lain.
Maka, ketika Al-Qur’an memerintahkan, “bertebaranlah di muka bumi,” sesungguhnya ia sedang membentuk karakter manusia yang tidak pasif, tidak bergantung, dan tidak malas. Ia ingin melahirkan generasi yang produktif, kreatif, dan berjiwa sosial — generasi yang mencari karunia Allah bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kesejahteraan banyak orang. Karena sejatinya, bertebaran di muka bumi bukan sekadar mencari rezeki, tetapi menyebarkan rahmat. Dan seorang Qur’anicpreneur adalah wakil Allah di bumi yang menjalankan misi itu dengan sepenuh cinta dan amanah.
Pesantren Raudhatul Irfan, 26 Oktober 2025
 
.png)
 
0 Komentar