Perjalanan Hati Santri Quranicpreneur Menuju Kematangan Ruhani dan Keberkahan Amal
Penulis: Irfan Soleh
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang bergerak cepat dan penuh ambisi, sering kali kita lupa untuk bertanya: ke mana sebenarnya hati ini sedang menuju? Apakah kita sedang berjalan ke arah Allah, atau justru tersesat dalam lorong panjang yang gelap, penuh keinginan dan tipu daya dunia?
Pertanyaan inilah yang menjadi pintu awal dari sebuah perjalanan ruhani—perjalanan yang tidak tampak oleh mata, namun menentukan arah seluruh hidup. Di jalan ini, seorang santri Qur’anicpreneur tidak hanya belajar dan berdagang, tetapi juga mengarungi samudera batin, menapaki maqām-maqām ruhani menuju Allah. Sebab, keberkahan amal, kejernihan pikiran, dan kejujuran dalam usaha semuanya bermuara dari satu sumber: hati yang terarah.
Perjalanan itu dimulai dari taubat. Taubat bukan sekadar penyesalan yang diiringi air mata, melainkan kesadaran mendalam bahwa arah hidup selama ini keliru, dan keberanian untuk membalik haluan menuju Allah. Dalam dunia spiritual, taubat adalah pintu awal—sebagaimana disebut oleh para sufi sebagai awwal manāzil as-sā’irīn, titik tolak dari seluruh langkah spiritual. Bagi seorang Qur’anicpreneur, taubat berarti memperbarui niat bisnis, memurnikan orientasi usaha, dan menyucikan sumber rezeki dari lalai terhadap nilai-nilai Ilahi.
Namun, perjalanan hati tak selalu mulus. Ada masa sempit, ada masa lapang. Ada saat hati seperti tercekik dalam kabut kegelapan (qabḍ), dan ada saat hati terasa ringan, lapang, dan penuh harapan (basṭ). Keduanya adalah taman-taman dari kasih sayang Allah. Ketika sempit, Allah sedang mendidik. Ketika lapang, Allah sedang memanjakan. Maka seorang pejalan ruhani belajar untuk sabar dalam sempit, dan bersyukur dalam kelapangan. Seorang Qur’anicpreneur pun diuji demikian: saat sempit, ia belajar bertahan dengan strategi dan tawakal; saat lapang, ia tidak terbuai oleh keuntungan, melainkan semakin memperbanyak berbagi dan menebar manfaat.
Lalu muncul kesadaran akan kefakiran diri. Bahwa sejatinya manusia itu lemah, butuh, tidak memiliki apa pun kecuali yang Allah beri. Dalam maqām ini, seorang hamba merasakan betapa kecil dirinya di hadapan kemahakuasaan Allah. Ini bukan tentang miskin harta, tetapi tentang sadar bahwa segalanya hanyalah titipan. Dalam dunia Qur’anicpreneur, kesadaran ini memupuk kerendahan hati, membuat seseorang tidak silau oleh omset, dan tidak terpuruk oleh kerugian—karena yang ia kejar bukan angka, melainkan ridha-Nya.
Semakin jauh melangkah, hati belajar menerima takdir. Ridha menjadi nafas utama. Tidak semua hal harus sesuai keinginan, dan tidak setiap rencana harus berjalan mulus. Ketika hati sudah ridha, musibah pun terasa sebagai madrasah. Seorang Qur’anicpreneur yang ridha tidak mudah tumbang oleh badai pasar, karena ia tahu—setiap pasang surut adalah cara Allah mendidik dan membersihkan niat.
Dari situ, tumbuh tiga sayap ibadah: cinta, takut, dan harap. Ibadah tanpa cinta akan kering. Ibadah tanpa takut akan ceroboh. Ibadah tanpa harap akan kehilangan semangat. Maka seorang pejalan ruhani menjaga keseimbangan ini: mencintai Allah tanpa menganggap enteng perintah-Nya, takut kepada-Nya tanpa kehilangan harapan ampunan-Nya. Dalam dunia usaha, cinta menjadikannya jujur, takut menjadikannya amanah, dan harap menjadikannya terus bangkit meski gagal.
Namun hidup bukan sekadar berharap dan berusaha. Ada titik di mana seorang hamba harus berserah sepenuhnya. Itulah tawakal dan taslim. Ia berusaha sebaik mungkin, tetapi menyerahkan hasil kepada Allah. Ia tahu, tugasnya hanya menanam, dan Allah yang menentukan hasil. Ini menjadi prinsip utama Qur’anicpreneur: tidak panik dalam ketidakpastian, tidak sombong dalam keberhasilan. Ia tetap menyusun strategi, namun hatinya tidak tergantung pada hasil, hanya kepada Yang Maha Mengatur.
Setiap fase hidup adalah ujian. Ada hari yang menyenangkan, ada hari yang menyakitkan. Di sinilah sabar dan syukur menjadi dua sisi dari satu mata uang keimanan. Sabar bukan sekadar menahan diri, tapi kemampuan untuk tetap teguh di tengah ujian. Syukur bukan sekadar mengucap “alhamdulillah”, tapi menyadari bahwa segala kebaikan adalah pemberian. Seorang Qur’anicpreneur bersyukur saat untung, dan bersabar saat rugi—karena baginya, semua adalah bagian dari pengasuhan Allah.
Di tengah segala hiruk pikuk itu, tumbuh rasa cukup—qanā‘ah. Inilah ketenangan sejati. Orang yang kaya hati tidak akan terganggu oleh persaingan, tidak akan silau oleh dunia, karena hatinya sudah dipenuhi oleh kehadiran Allah. Ia tidak dikuasai pasar, tapi menguasai dirinya di tengah pasar. Ia berdagang, tapi tidak diperbudak oleh angka.
Dan pada akhirnya, seluruh perjalanan ruhani itu bermuara pada puncak: tauhid dan fana’. Di sinilah ego mulai lenyap, dan yang tersisa hanyalah penyaksian terhadap Allah dalam segala sesuatu. Hamba tidak lagi melihat usaha sebagai alat untuk mencari dunia, tapi sebagai bentuk ibadah yang menyambungkan diri kepada-Nya. Ia tidak bekerja karena ingin berhasil, tapi karena ingin semakin mengenal-Nya.
Pada maqām ini, seorang Qur’anicpreneur telah berubah. Ia bukan hanya menjadi pelaku bisnis, tetapi telah menjadi penyaksi Allah dalam setiap transaksi. Setiap keuntungan ia jadikan jalan syukur. Setiap kerugian ia jadikan jalan sabar. Setiap pekerjaan adalah dzikir. Setiap rencana adalah doa. Dan setiap kegagalan hanyalah cara Allah mengganti niatnya yang belum lurus.
Akhirnya, ketika seluruh perjalanan batin itu dijalani dengan sungguh-sungguh, hati akan berbisik lembut:
“Aku bekerja bukan untuk dunia, tapi agar aku semakin mengenal-Mu, ya Allah.”
0 Komentar