Ketika Tempat Sibuk Meniru Bentuk Ilahi: Makna Isytighālul Maḥalli bi Sukūnil Ḥikāyah

Penulis: Irfan Soleh


Bahasa Arab adalah lautan makna. Di dalamnya, satu harakat bisa menjadi pintu bagi samudera tafsir, dan satu istilah nahwu bisa membuka cakrawala ruhani yang dalam. Salah satunya adalah istilah “اشتغالُ المحلِّ بسكونِ الحكايةِ” (isytighālul maḥalli bi sukūnil ḥikāyah) — ungkapan yang sederhana namun menyimpan hakikat yang luas: ketika suatu tempat gramatikal sudah “sibuk” menampung ketetapan bentuk yang sedang dikisahkan, sehingga tak sempat menerima tanda i‘rāb baru.


Makna Nahwiyyah: Antara Harakat dan Hikayat

Mari kita mulai dari contoh yang disebut oleh para ulama:

وَالفِعْلُ يُعْرَفُ بِقَدْ

“Fi‘il dikenal dengan kata qad.”


Secara kaidah, bi adalah huruf jarr, dan kata sesudahnya semestinya majrūr — biasanya ditandai dengan kasrah. Maka, secara lahir seharusnya “biqadin”. Namun di sini kita membaca “bi-qad”, bukan “bi-qadin.” Mengapa demikian?

Menurut Syaikh al-Kafrawī, huruf “qad” di sini tidak diberi kasrah karena ia sedang disebut sebagai bentuk yang dikisahkan (ḥikāyah), bukan sedang digunakan dalam fungsinya. Maka tanda jarr tidak tampak, karena tempat i‘rāb-nya sudah sibuk menampung sukun hikāyah.


Para ulama nahwu menjelaskan:

الكلمة "قد" مجرورة لفظًا بالباء، ولكن علامة الجر مقدّرة على آخرها، لاشتغال المحل بسكون الحكاية.

Kata “qad” sebenarnya majrūr dengan huruf “bi”, tetapi tanda jarr-nya diandaikan (muqaddar) karena tempatnya sibuk oleh sukun hikāyah.


Namun Syaikh al-Akhdharī berpendapat lain: beliau mengatakan bahwa “qad” adalah huruf mabniyyun ‘ala as-sukūn, dan kedudukannya majrūr secara mahal, karena berada setelah huruf jarr. Maka menurut beliau, tidak perlu mengatakan isytighālul maḥall bi sukūnil ḥikāyah, sebab sukun-nya adalah asli dari bangunannya, bukan karena hikāyah. Dua pandangan ini tampak seperti perbedaan teknis, tetapi sesungguhnya mengandung isyarat maknawi yang dalam: apakah diamnya suatu bentuk karena ia sibuk meniru sesuatu, atau karena ia memang memiliki sifat asli untuk diam.


Diam yang Sibuk dan Sibuk yang Diam


Mari kita renungkan. Dalam pandangan Syaikh al-Kafrawī, huruf “qad” diam karena sedang meniru bentuknya sebagaimana aslinya. Ia tidak berubah karena ingin menjaga kemurnian bentuk yang dikisahkan. Tempatnya — yakni posisi i‘rāb — sudah penuh dengan tugas menampung hikmah bentuk itu. Inilah yang disebut isytighālul maḥall bi sukūnil ḥikāyah — kesibukan tempat oleh ketenangan bentuk yang ditiru.


Adapun menurut Syaikh al-Akhdharī, diamnya “qad” adalah diam asli, bukan karena meniru, melainkan karena ia memang diciptakan dalam keadaan mabni sukun. Kedua pandangan ini sesungguhnya memperlihatkan dua dimensi kehidupan: Kadang kita diam karena meniru sesuatu yang lebih tinggi (hikāyah). Kadang kita diam karena diam itu sudah bagian dari bangunan diri (mabniyyah).


Dari Nahwu ke Tasawuf: Hati yang Sibuk oleh Hikayah Ilahiah


Jika makna ini dibawa ke ranah tasawuf, maka kita melihat cermin diri di dalamnya. Hati seorang salik kadang tidak menampakkan perubahan lahiriah bukan karena mati rasa, tapi karena ia sedang sibuk menampung pancaran makna dari sumber aslinya. Ia seperti kata “qad” — tampak diam, tapi sebenarnya penuh kesibukan meniru bentuk ilahiah yang diturunkan ke dalam dirinya. Hati itu tidak memberi reaksi duniawi karena “tempatnya telah sibuk oleh sukun hikayah.” Ia menampung cahaya, bukan suara. Ia meniru wujud, bukan sekadar gerak.


Sebagaimana Allah ﷻ berfirman:

"فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

(QS. Al-Baqarah: 152)

“Ingatlah Aku, niscaya Aku mengingatmu.”


Dalam setiap dzikir yang tulus, hati meniru Allah dalam sifat dzikr — ia muhākāt (meniru) bentuk ilahiah dari mengingat dan diingat. Maka diamnya seorang ‘ārif bukanlah kehampaan, tetapi kesibukan ruhani. Ia sukun karena sedang meniru bentuk asal dari ketenangan Allah.


Qur’anicpreneur: Stabil karena Meniru Pola Ketuhanan


Dalam dunia Qur’anicpreneurship, makna ini juga sangat dalam. Banyak pelaku usaha yang tampak “tidak bergerak cepat” dibanding para kompetitor. Ia tenang, tidak terburu-buru, tidak ikut arus promosi yang gegabah. Tetapi ketenangan itu bukan kelambanan — itu sukun karena kesibukan. Ia seperti huruf “qad” dalam kalimat “wal-fi‘lu yu‘rafu bi-qad”. Ia tidak menampakkan gerak luar (perubahan bentuk), karena sedang sibuk meniru bentuk nilai yang aslinya. Ia sibuk menjaga amanah syariah, kejujuran, keadilan, dan keberkahan. Maka sistemnya sukun, tapi jiwanya aktif meniru pola ilahiah.


Dalam perspektif Qur’anicpreneur, isytighālul maḥalli bi sukūnil ḥikāyah berarti: Menjaga keaslian bentuk ilahiah dalam setiap struktur usaha, hingga tidak tergoda mengubah bentuk demi kepentingan sesaat. Seperti “qad” yang tetap sebagaimana adanya, karena ia sedang dikisahkan — bukan digunakan. Begitulah seorang pebisnis Qur’ani: tetap dalam nilai ilahiah, meski dunia di sekelilingnya berubah.


Hikmah yang Mengalir dari Huruf Kecil


Ternyata dari satu huruf seperti “qad”, kita bisa belajar tentang hakikat diam, makna meniru, dan cara menjaga bentuk asli dari sumbernya. Ilmu nahwu mengajarkan ketelitian dalam bentuk, tasawuf mengajarkan ketulusan dalam makna, dan Qur’anicpreneurship mengajarkan kesetiaan pada nilai. Tiga ranah itu bertemu dalam satu titik: kesibukan yang tenang.


Refleksi


Mungkin dalam hidup kita pun ada saat-saat seperti “qad”. Kita tampak tidak bergerak, tapi sebenarnya sedang menampung makna. Kita tampak diam, tapi hati kita sibuk meniru bentuk kebenaran yang sedang Allah tanamkan.

Kita tidak berubah bukan karena beku, tetapi karena sedang menjaga bentuk asli yang dikisahkan oleh takdir. Maka, ketika engkau merasa diam, tanyakanlah pada hatimu: Apakah engkau diam karena kosong, atau karena sedang isytighāl bi sukunil ḥikāyah — sibuk menampung bentuk ilahiah yang sedang Allah ceritakan melalui hidupmu?


Pesantren Raudhatul Irfan, 13 oktober 2025