Ketika Penangguhan Adalah Pemberian: Menyelami Hikmah Ibnu ‘Athoillah
Penulis: Irfan Soleh
Dalam salah satu hikmahnya yang paling dalam, Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari berkata, “Pemberian dari makhluk adalah keterhalangan, sedangkan penangguhan pemberian dari Allah merupakan karunia. Jika engkau menerima pemberian dari manusia dan lalai dari Tuhanmu, maka pemberian itu sejatinya merupakan hijab bagimu dari karunia Allah. Jika Allah menahan pemberian-Nya, itu adalah bentuk kasih sayang-Nya agar hatimu tidak melupakan-Nya. Walaupun secara lahir Allah tidak memberimu, namun secara batin itu adalah pemberian-Nya kepadamu. Ia memaksamu untuk berdiri di depan pintu-Nya, dan membebaskanmu dari hijab selain-Nya.”
Kata-kata ini mengandung hikmah spiritual yang halus namun tajam. Ia mengajarkan cara baru dalam memandang “pemberian” — bukan dari sisi jumlah atau bentuknya, melainkan dari sisi siapa yang memberi dan bagaimana hati menerimanya. Dalam pandangan Ibnu ‘Athoillah, pemberian dari manusia bisa menjadi hijab, karena membuat hati lalai dari Sang Pemberi Sejati. Sebaliknya, ketika Allah menangguhkan sesuatu, di situlah sebenarnya letak karunia terbesar, sebab Ia sedang mendidik hati agar hanya bergantung kepada-Nya.
Syaikh Ahmad bin ‘Ajibah dalam Iqāz al-Himam fī Syarh al-Hikam menjelaskan bahwa manusia sering tertipu oleh sebab-sebab lahiriah. Mereka melihat pemberian dari tangan makhluk dan lupa bahwa tangan itu hanyalah perantara. Padahal yang sesungguhnya memberi hanyalah Allah, Sang Musabbibul Asbāb. Ketika seseorang merasa cukup dengan pemberian manusia, hatinya sesungguhnya telah terhijab dari pandangan kepada Allah. Karena itu, penangguhan dari Allah bukanlah penolakan, melainkan pendidikan ilahi yang melatih kita untuk tidak bersandar kepada selain-Nya.
Al-Qur’an menguatkan makna ini dalam firman-Nya, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216). Dalam pandangan manusia, penundaan atau kegagalan sering kali terasa pahit. Namun dari sudut pandang ilahi, bisa jadi itu adalah bentuk penjagaan. Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Sesungguhnya Allah menjaga hamba-Nya dari dunia, sebagaimana salah seorang di antara kalian menjaga orang sakitnya dari makanan yang membahayakan.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim). Betapa sering kita memohon sesuatu yang ternyata justru bisa merusak kita. Maka, ketika Allah menahan, sesungguhnya Ia sedang melindungi.
Dalam dimensi tasawuf, hikmah ini menuntun manusia menuju tauhid al-af‘āl, yaitu kesadaran bahwa setiap perbuatan dan kejadian di alam semesta ini berasal dari Allah. Pemberian, penangguhan, bahkan penolakan — semuanya adalah bagian dari kehendak-Nya yang penuh hikmah. Syaikh Ahmad Zarrūq, salah satu pensyarah al-Hikam, menulis bahwa pemberian makhluk adalah ujian bagi pandangan batin. Jika engkau melihat tangan manusia dan lupa pada Allah, maka pemberian itu menjadi hijab. Namun jika engkau melihat tangan Allah di balik setiap perantara, maka yang tampak sebagai pemberian manusia sejatinya adalah pemberian Allah juga.
Hikmah ini menjadi sangat relevan bagi para santri yang sedang ditempa dalam kesederhanaan. Ketika uang kiriman belum datang, ketika makanan di dapur seadanya, ketika fasilitas terbatas — jangan tergesa-gesa mengeluh. Barangkali Allah sedang mendidik jiwa untuk belajar qana‘ah, yaitu merasa cukup dengan yang ada, dan tawakkal, yakni berserah diri sepenuhnya kepada-Nya. Kesabaran yang tumbuh di tengah kesempitan itulah karunia yang sesungguhnya. Nabi ﷺ bersabda, “Barang siapa yang bersabar, Allah akan menjadikannya mampu bersabar. Tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Santri yang tumbuh dalam kesederhanaan sesungguhnya sedang menimba kekayaan batin yang tidak dapat dibeli dengan harta: kekuatan jiwa dan kepekaan hati terhadap kehadiran Allah.
Bagi seorang Qur’anicpreneur — pebisnis yang menapaki jalan usaha dengan panduan Al-Qur’an — hikmah ini juga menjadi cermin yang menenangkan. Ketika usaha sepi, pelanggan berkurang, atau modal tersendat, jangan buru-buru menilai bahwa Allah berpaling. Mungkin justru di situlah Allah ingin memperkuat hatimu agar tidak bergantung pada hasil, tetapi pada-Nya. Ketika keuntungan datang, Ia ingin kau bersyukur; ketika penangguhan datang, Ia ingin kau bersabar. Dalam setiap keadaan, yang Ia kehendaki bukanlah sekadar keberhasilan duniawi, melainkan agar engkau semakin mengenal-Nya.
Firman Allah menegaskan, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155). Ujian adalah bentuk kasih sayang. Ia bukan hukuman, tapi panggilan. Dengan menahan sesuatu dari kita, Allah mengundang kita untuk kembali berdiri di depan pintu-Nya, untuk berdoa lebih lama, bersujud lebih dalam, dan memohon dengan hati yang lebih lembut.
Maka, ketika engkau berdoa dan belum dikabulkan, jangan buru-buru kecewa. Bisa jadi Allah menunda agar engkau tetap mengetuk. Ketika usahamu tersendat, jangan berprasangka buruk. Mungkin Allah ingin engkau mengingat bahwa kekuatan bukan datang dari modal, tapi dari izin-Nya. Ketika manusia memberimu sesuatu dan hatimu merasa tenang karenanya, waspadalah — mungkin itu adalah ujian agar engkau tidak menggantungkan diri pada mereka. Namun ketika Allah menahan, dan hatimu tetap ridha, maka itu pertanda bahwa Ia sedang membuka pintu kedekatan yang tak terhingga.
Ibnu ‘Athoillah menutup hikmah ini dengan kalimat yang menenangkan: “Allah memaksamu berdiri di depan pintu-Nya, agar engkau tidak terhijab dari-Nya.” Betapa lembut cara Allah mendidik hamba-Nya. Ia menahan bukan untuk menyakiti, tetapi untuk menjaga. Ia menunda bukan karena lupa, tetapi karena cinta. Ia tidak memberi agar engkau belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu terletak pada memiliki, tetapi pada mengenal siapa yang memiliki segalanya.
Dan pada akhirnya, di balik setiap penangguhan, selalu ada pemberian yang lebih halus — bukan dalam bentuk benda, tapi dalam bentuk kedekatan. Bagi santri, kedekatan itu lahir dari doa-doa di sepertiga malam. Bagi Qur’anicpreneur, kedekatan itu tumbuh dalam kesadaran bahwa setiap transaksi adalah kesempatan untuk beribadah. Bagi setiap hamba, kedekatan itu terasa ketika hati bisa berkata, “Ya Allah, aku ridha atas segala keputusan-Mu, karena aku tahu Engkaulah sebaik-baik Pemberi.”
Pesantren Raudhatul Irfan, 30 Oktober 2025
 
.png)
 
0 Komentar