Kesombongan yang Ditiup Angin: Tafsir Kisah Kaum ‘Ād dalam Surat Fuṣṣilat

Penulis: Irfan Soleh


Pernahkah kita merasa kuat karena sesuatu yang kita miliki — karena harta yang berlimpah, kedudukan yang tinggi, atau kemampuan yang diakui banyak orang? Pernahkah kita merasa bahwa rencana-rencana kita pasti berhasil karena pengalaman dan jaringan yang kita punya? Jika iya, maka kisah kaum ‘Ād dalam Surat Fuṣṣilat seolah sedang berbicara langsung kepada kita: Sampai di mana batas kekuatan manusia? Dan kapan kekuatan itu berubah menjadi kesombongan yang membinasakan?


فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۖ أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ.

فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي أَيَّامٍ نَّحِسَاتٍ لِّنُذِيقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَخْزَىٰ وَهُمْ لَا يُنصَرُونَ.


(QS. Fuṣṣilat [41]: 15–16)



Kaum ‘Ād adalah bangsa besar yang hidup di daerah Al-Aḥqāf — lembah berpasir di selatan Jazirah Arab, dekat perbatasan Oman dan Yaman. Dalam sejarah Qur’an, mereka hidup setelah kaum Nuh dan dikenal sebagai umat yang kuat, bertubuh tinggi, berperadaban maju, dan memiliki kemampuan teknik luar biasa.


Bangunan mereka diukir di gunung, rumah-rumah mereka berdiri megah, ladang-ladang mereka luas dan subur. Mereka adalah simbol kemajuan dan kemakmuran di zamannya.


Namun, sebagaimana sering terjadi dalam sejarah manusia, kemajuan material tidak selalu diiringi kematangan spiritual. Ketika tangan mereka kuat menggenggam bumi, hati mereka justru lepas dari langit. Dari sinilah lahir kesombongan yang mengundang murka Tuhan.


“Mereka menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar, dan berkata: Siapa yang lebih kuat dari kami?”


Kalimat ini menggambarkan watak manusia yang telah kehilangan rasa syukur. Mereka mengukur segalanya dengan kekuatan, bukan dengan kebenaran. Mereka mengira, karena fisik dan teknologi mereka hebat, maka mereka tak akan tersentuh oleh kehancuran.


Padahal Allah membantah dengan satu kalimat yang mengandung seluruh logika tauhid:


“Tidakkah mereka melihat bahwa Allah yang menciptakan mereka lebih kuat dari mereka?”


Ayat ini sederhana, tapi mengandung kedalaman makna yang luar biasa. Ia menegaskan bahwa setiap kekuatan manusia bersumber dari kekuatan Ilahi. Maka, ketika manusia lupa pada sumbernya, kekuatan itu berubah menjadi kelemahan yang akan menjerumuskannya.


Inilah sunnatullah dalam kehidupan: siapa yang meninggi tanpa dasar keimanan, akan dijatuhkan dengan cara yang tidak disangka-sangka.


Nabi Hūd عليه السلام datang kepada mereka dengan nasihat yang lembut dan jujur. Ia tidak menolak kemajuan mereka, tapi mengingatkan bahwa kemajuan tanpa keimanan adalah kesia-siaan. Ia berkata, sebagaimana disebut dalam surat lain:


يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۚ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا مُفْتَرُونَ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya kalian hanyalah mengada-ada.” (QS. Hud: 50)


Namun mereka menolak. Mereka menganggap Hūd hanyalah seorang manusia biasa yang tidak sebanding dengan kekuasaan mereka.


Maka Allah menurunkan azab yang sangat keras:


فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي أَيَّامٍ نَّحِسَاتٍ

“Maka Kami kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari yang sial.”


Kata riḥan ṣarṣar menggambarkan angin yang berhembus dengan suara keras, berputar hebat, dan membawa hawa sangat dingin. Tafsir Al-Qurthubi menyebut, angin itu bertiup selama tujuh malam delapan hari tanpa henti, menghancurkan rumah-rumah, menumbangkan pohon-pohon, dan mengangkat tubuh manusia ke udara sebelum membantingnya ke tanah.


Tak tersisa satu pun yang hidup.

Bangsa yang dulu gagah, hilang hanya oleh tiupan angin.


Subhanallah…

Begitu lembut cara Allah memberi pelajaran. Dihancurkan bukan oleh perang, bukan oleh gempa, bukan oleh api — tapi oleh angin yang tak tampak.


Angin yang biasa kita hirup setiap hari, tiba-tiba berubah menjadi alat keadilan Tuhan. Seolah Allah ingin berkata:


“Wahai manusia, jangan terlalu sombong. Aku bisa menghancurkanmu dengan sesuatu yang tidak bisa kau lihat.”


Pelajaran ini menjadi sangat relevan bagi kita yang hidup di zaman modern. Zaman di mana manusia kembali membanggakan kemajuan. Kita membangun kota, menguasai teknologi, dan mengatur pasar dengan sistem yang canggih.


Tapi sering kali, semakin tinggi bangunan dibangun, semakin dalam hati manusia terjatuh dalam lupa.


Dalam pengajian Raudhatul Irfan, sering kami sampaikan:

Kekuatan yang tidak disertai kesadaran ruhani adalah jalan menuju kehancuran batin.


Angin dalam ayat ini tidak hanya bermakna fisik, tapi juga simbolik. Dalam tafsir sufistik, riḥ ṣarṣar bisa dimaknai sebagai hempasan ruhani — badai di dalam diri yang datang ketika hati kehilangan ketundukan kepada Allah.


Ketika kesombongan memasuki dada, maka angin itu berhembus dalam batin: menebarkan kegelisahan, kebingungan, dan kehilangan arah.

Itulah azab batin sebelum azab lahir.


Dari sisi Qur’anicpreneur, kisah ini mengajarkan keseimbangan antara kekuatan usaha dan kesadaran spiritual.


Kaum ‘Ād adalah contoh bangsa yang berhasil membangun sistem ekonomi dan infrastruktur besar, namun gagal menjaga nilai-nilai ketauhidan.

Mereka membangun tanpa mengingat Sang Pemberi kemampuan.

Mereka menguasai pasar, tapi lupa siapa pemilik rezeki.

Mereka produktif, tapi kehilangan barakah.


Seorang Qur’anicpreneur tidak boleh mengulangi kesalahan itu. Ia harus menjadi pengusaha yang menyadari bahwa setiap keberhasilan bisnis hanyalah titipan dari Allah, bukan hasil kemampuan dirinya sendiri. Ia harus menundukkan setiap strategi kepada nilai-nilai ilahiyah.


Karena barakah itu bukan datang dari kerja keras semata, tapi dari kerja yang disertai niat yang lurus dan hati yang tunduk.


Kaum ‘Ād membangun peradaban dengan kekuatan fisik,

tapi seorang Qur’anicpreneur membangun peradaban dengan kekuatan ruh.


Ia tahu, bahwa rezeki bukan sekadar angka di laporan keuangan,

tapi pancaran kasih sayang Allah yang menumbuhkan ketenangan batin.


Maka setiap transaksi baginya bukan sekadar jual beli, tapi ibadah;

Setiap keuntungan bukan sekadar laba, tapi amanah.



Ketika Allah berfirman:


لِنُذِيقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Agar Kami rasakan kepada mereka azab yang menghinakan di dunia,”


Itu artinya, kehilangan keberkahan adalah kehinaan yang sebenarnya.

Banyak yang tampak berhasil, tapi hatinya kosong.

Banyak yang kaya, tapi hidupnya hampa.

Itulah ‘adzābal khizyi — kehinaan yang dibungkus kemewahan.


Dan Allah menutup kisah ini dengan kalimat yang membuat hati bergetar:


وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَخْزَىٰ وَهُمْ لَا يُنصَرُونَ


“Dan sesungguhnya azab akhirat lebih menghinakan, dan mereka tidak akan ditolong.”


Maka, sebelum azab akhirat datang, mari kita perbaiki arah hidup. Jangan biarkan angin kesombongan bertiup di hati kita. Jadikan setiap keberhasilan sebagai jalan untuk semakin mengenal Allah, bukan menjauh dari-Nya. Karena sebagaimana angin yang lembut bisa menjadi rahmat, begitu pula kesombongan yang dibiarkan akan menjadi badai yang memporakporandakan hidup.


Pesantren Raudhatul Irfan, 6 Oktober 2025