Kemuliaan yang Tak Pernah Musnah: Jalan Qur’anicpreneur Menuju Izzah Sejati

Penulis: Irfan Soleh


Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari pernah menulis sebuah hikmah yang pendek tetapi dalam maknanya: “Jika engkau menginginkan kemuliaan yang abadi, maka jangan bersandar pada kemuliaan yang fana.” Kalimat ini terdengar sederhana, namun di dalamnya terkandung renungan panjang tentang hakikat kemuliaan dan arah hidup manusia. Dalam dunia yang sibuk mengejar pengakuan, jabatan, dan status sosial, hikmah ini datang seperti cahaya yang menuntun hati kembali kepada sumber kemuliaan sejati—Allah semata. Apakah selama ini kemuliaan yang kita kejar benar-benar abadi, atau sekadar bayangan sementara yang membuat kita lupa kepada sumbernya?


Kemuliaan sering disalahartikan sebagai tampilan luar: pakaian yang indah, posisi yang tinggi, atau kekayaan yang berlimpah. Padahal semua itu fana, cepat hilang seiring waktu. Hari ini seseorang dihormati, esok dilupakan. Hari ini dipuji, besok dicaci. Ibnu ‘Athoillah mengingatkan bahwa siapa pun yang menggantungkan harga dirinya pada sesuatu yang bisa musnah, maka kemuliaannya akan ikut musnah bersamanya. Sumber kemuliaan sejati bukanlah dunia, melainkan hubungan yang jernih dengan Sang Pemilik Dunia.


Al-Qur’an telah menegaskan dengan tegas, “Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah segala kemuliaan.” (QS. Fāṭir: 10). Ayat ini bukan sekadar pernyataan teologis, tetapi panduan hidup bagi siapa pun yang ingin terhormat tanpa harus menjadi budak dunia. Kemuliaan tidak perlu dicari dari manusia, sebab manusia sendiri lemah. Ia harus dicari dari Allah, sebab Dialah yang Mahamulia. Ketika seseorang mendapatkan kemuliaan dari Allah, maka hilangnya pujian dunia tidak lagi menyakitkan. Ia tetap berdiri tegak karena kemuliaannya tertanam di hati, bukan di lisan manusia.


Dalam pandangan para sufi, kemuliaan itu bukan pada nama yang diagungkan, tetapi pada hati yang bersih dan rendah hati. Seorang salik dianggap mulia ketika ia tidak lagi merasa butuh dihormati. Ia tenang karena tahu bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh manusia. Dunia boleh berbalik arah, tapi hatinya tidak goyah. Orang seperti ini mungkin tak dikenal di dunia, tetapi disebut-sebut di langit. Karena itu, kemuliaan sejati selalu tersembunyi. Ia tidak berteriak, tidak menuntut untuk diakui, dan tidak mencari panggung untuk dilihat.


Dalam konteks kehidupan modern, pesan Ibnu ‘Athoillah ini sangat relevan bagi para Qur’anicpreneur — para pelaku usaha yang berjiwa Qur’ani, yang menjadikan bisnis sebagai jalan ibadah dan pemberdayaan. Dunia bisnis sering kali mengukur nilai seseorang dari omzet, pangsa pasar, atau pencitraan merek. Namun Qur’anicpreneur memahami bahwa keberkahan lebih bernilai daripada angka, dan ridha Allah lebih penting daripada pengakuan manusia. Ia tidak mencari kemuliaan dari citra dunia usaha, melainkan dari kejujuran, keadilan, dan amanah dalam setiap transaksi.


Qur’anicpreneur tidak membangun izzah-nya di atas kesombongan, tapi di atas ketundukan kepada Allah. Ia berani menolak keuntungan haram karena tahu bahwa kemuliaan tidak pernah lahir dari kebohongan. Ia berani bersabar saat diuji kerugian, sebab ia yakin Allah-lah pemberi rezeki yang sejati. Seperti sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa mencari kemuliaan bukan dengan ketaatan kepada Allah, maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Ahmad). Dari sini kita belajar bahwa jalan menuju izzah abadi adalah jalan ketaatan, bukan jalan ambisi.


Seorang pengusaha yang memuliakan karyawan, menepati janji kepada mitra, dan tidak curang terhadap pelanggan, sesungguhnya sedang menapaki tangga kemuliaan spiritual. Ia mungkin tidak disorot media, tetapi dimuliakan oleh Allah dan dicatat oleh malaikat. Sementara orang yang membangun kemuliaan melalui tipu daya atau pencitraan palsu mungkin tampak tinggi di mata dunia, tetapi di sisi Allah ia sedang menggali lubang kehinaan. Dunia bisa saja menepuk bahunya, tetapi langit tidak mengenalnya.


Allah berfirman, “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, dan saling bermegah-megahan...” (QS. Al-Ḥadīd: 20). Dunia memberi ilusi kemuliaan: kekayaan membuat seseorang merasa berkuasa, jabatan membuatnya merasa lebih tinggi, popularitas membuatnya lupa diri. Padahal semua itu hanyalah pantulan cahaya sementara. Ketika malam tiba, semuanya lenyap. Maka orang bijak tidak mencari cahayanya dari dunia, tetapi dari Nur Allah yang tak pernah padam.


Santri, pengusaha, dan siapa pun yang berjalan di jalan Qur’ani perlu menanamkan satu keyakinan: kemuliaan sejati bukanlah ketika manusia menghormatimu, tapi ketika Allah meridhai hidupmu. Seseorang bisa hidup sederhana, tapi mulia di sisi Allah karena keikhlasannya. Bisa jadi ia tidak memiliki banyak harta, tetapi memiliki hati yang lapang dan jiwa yang teguh. Sebaliknya, seseorang yang disanjung dunia bisa jadi sedang berjalan menuju kehinaan, karena sandarannya adalah pujian manusia yang cepat berubah.


Kemuliaan yang abadi tidak bisa dibeli, tidak bisa diwariskan, tidak bisa diminta dari manusia. Ia tumbuh dari dalam, dari kesetiaan kepada nilai-nilai kebenaran, dari kesabaran dalam ujian, dan dari kejujuran dalam bekerja. Qur’anicpreneur yang memahami ini tidak lagi berlomba untuk terlihat besar, tapi untuk menjadi berarti. Ia sadar bahwa kemuliaan bukan tentang tinggi panggung, tapi tentang bersihnya hati saat meninggalkan dunia.


Ketika seseorang berhenti memburu kemuliaan yang fana dan mulai meniti jalan menuju kemuliaan yang abadi, maka ia telah menemukan rahasia ketenangan. Ia tidak lagi diombang-ambingkan oleh pujian dan celaan. Ia menjadi tenang seperti bumi yang kokoh, menumbuhkan kebaikan tanpa banyak bicara. Dalam diamnya, Allah memuliakannya. Dalam kesederhanaannya, dunia belajar darinya tentang makna izzah sejati.


Pesantren Raudhatul Irfan, 16 Oktober 2025