Kalam dalam Kitab Jurumiyah: Antara Struktur Nahwu, Hakikat Tasawuf, dan Pelajaran bagi Qur’anicpreneur

Penulis: Irfan Soleh


Dalam dunia ilmu nahwu, kalam menjadi pintu pertama yang harus dibuka oleh setiap penuntut ilmu bahasa Arab. Ia adalah fondasi yang dengannya seseorang memahami bangunan kalimat, makna, dan hukum gramatika. Namun dalam dunia tasawuf, kalam tidak berhenti pada “ucapan” semata. Ia menjadi cermin kejujuran hati dan manifestasi dari keadaan batin seseorang. Oleh karena itu, para sufi memandang kalam bukan hanya sebagai bunyi yang teratur, tetapi sebagai pancaran dari jiwa yang sadar dan selaras antara lisan, hati, dan amal. Maka timbul pertanyaan bagi setiap penuntut ilmu dan pejuang dakwah ekonomi: sudahkah kalam yang kita ucapkan menjadi pantulan dari kejernihan hati dan kejujuran amal, atau sekadar bunyi tanpa ruh?


Kitab Al-Jurumiyah karya Imam Ash-Shanhaji mendefinisikan kalam dengan ungkapan:

الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع

“Kalam adalah lafadz yang tersusun, memberi faidah, dan diucapkan secara sengaja (dengan maksud berbahasa Arab).” 


Dari definisi ini, kalam terdiri dari empat unsur: lafdz, murakkab, mufid, dan bil wadh‘i. Artinya, kalam adalah suara yang keluar dari lisan, tersusun dalam struktur yang benar, memberi makna yang utuh, dan diucapkan dengan kesadaran berbahasa Arab. Ia adalah bangunan logika linguistik yang memuat harmoni antara bentuk dan makna. 


Bagi ahli nahwu, kesempurnaan kalam terletak pada keindahan susunannya; tetapi bagi ahli hakikat, kesempurnaan kalam terletak pada kesucian sumbernya — yaitu hati yang jujur. Seorang Qur’anicpreneur pun perlu meneladani prinsip ini: bahwa komunikasi bisnis, promosi produk, maupun ajakan kebaikan, haruslah tersusun dengan jujur dan bermakna, bukan hanya menarik di permukaan. Kata yang lahir dari keikhlasan akan lebih menggerakkan hati daripada retorika tanpa niat suci.


Sebagian cendekiawan memperluas makna kalam dari sekadar susunan bahasa menjadi refleksi perilaku. Mereka mengatakan bahwa kalam adalah lafadz yang tersusun dari ucapan dan sikap. Ucapan yang fasih tetapi bertolak belakang dengan perbuatan, pada hakikatnya bukan kalam yang hidup. Ia seperti bunga plastik — indah dipandang, tapi tak beraroma kehidupan. Dalam pandangan ini, kalam sejati adalah ucapan yang disertai sikap; kata yang mengandung niat, dan niat yang mewujud dalam tindakan. Maka ketika seseorang berbicara tentang kejujuran, tetapi tidak jujur dalam laku, sesungguhnya ia telah merusak makna kalam itu sendiri. Bagi seorang Qur’anicpreneur, pelajaran ini sangat penting: kepercayaan pasar tidak dibangun dengan iklan semata, tetapi dengan integritas yang nyata. Kata-kata manis tanpa etika bisnis yang benar hanya akan menjatuhkan kredibilitas dan mematikan ruh keberkahan.


Para hukamā’ menambahkan dimensi yang lebih dalam: kalam adalah lafadz yang tersusun dari ucapan dan perbuatan. Hakikat kalam bukan sekadar bunyi yang terdengar, melainkan kenyataan yang hidup. Ucapan yang tidak menuntun pada amal adalah suara yang mati; sedangkan amal yang sesuai dengan ucapan adalah ruh dari setiap kalimat yang diucapkan. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ، كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 2–3)


Ayat ini tidak hanya berbicara kepada para da’i dan ulama, tetapi juga kepada setiap pebisnis muslim yang membawa nama Al-Qur’an dalam aktivitasnya. Bisnis yang berbasis kalam Qur’ani tidak boleh berhenti pada kata-kata religius, tetapi harus mewujud dalam etos kerja, pelayanan yang amanah, dan keadilan dalam muamalah. Kalam yang kosong dari amal adalah strategi tanpa keberkahan. Tapi kalam yang dibenarkan dengan amal adalah energi spiritual yang menumbuhkan kepercayaan dan menembus hati pelanggan.


Dalam dunia tasawuf, kalam adalah cermin batin. Lisan hanyalah alat yang menampakkan isi hati. Jika hati bersih, maka yang keluar dari lisannya adalah hikmah; jika hati kotor, maka lisannya hanya memuntahkan kebohongan. Imam Al-Junaid pernah berkata, “Setiap kalam yang tidak keluar dari hati, maka ia tidak akan sampai ke hati.” Kalimat ini menegaskan bahwa kekuatan ucapan bukan terletak pada kefasihan lidah, melainkan pada kedalaman hati yang menggerakkannya. Bagi Qur’anicpreneur, kalam yang lahir dari hati adalah komunikasi yang penuh empati — bukan sekadar menjual, tetapi menyentuh dan menumbuhkan. Inilah rahasia komunikasi spiritual dalam dunia usaha: business with barakah hanya bisa lahir dari heart-based speech.


Rasulullah ﷺ juga mengingatkan bahwa tanda orang munafik salah satunya adalah ketika berbicara ia berdusta. Dalam pandangan sufistik, kedustaan bukan hanya dalam fakta, tetapi dalam niat. Ketika ucapan tidak sejalan dengan kesungguhan batin, maka di situlah letak kemunafikan ruhani. Orang yang pandai berbicara tentang kebaikan tetapi malas berbuat, sejatinya sedang menipu dirinya sendiri. Dalam konteks bisnis Qur’anicpreneur, ini berarti menjauhi tipu daya, janji palsu, dan retorika tanpa bukti. Integritas adalah bentuk tasawuf praktis di pasar: menjaga kesatuan antara kata, niat, dan perbuatan.


Jika ditilik lebih dalam, konsep kalam menurut Jurumiyah dan pandangan para sufi sebenarnya tidak bertentangan. Jurumiyah menata struktur luar, sementara tasawuf menata struktur dalam. Nahwu mengajarkan bagaimana kata disusun agar bermakna bagi pendengar, sedangkan tasawuf mengajarkan bagaimana hati disusun agar bermakna bagi Allah. Ketika keduanya bersatu, kalam menjadi jalan menuju kesempurnaan insani: lidah yang fasih, hati yang jujur, dan amal yang nyata. Qur’anicpreneur sejati adalah yang menyatukan ketiganya — pandai berkata benar, berpikir jernih, dan bertindak selaras dengan nilai Al-Qur’an. Ia menjadikan setiap ucapan promosi sebagai dakwah, setiap transaksi sebagai ladang amal, dan setiap keuntungan sebagai sarana kebermanfaatan sosial.


Allah menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nya naik perkataan yang baik, dan amal saleh yang mengangkatnya.” (QS. Fathir: 10)


Perkataan yang baik baru akan terangkat jika disertai amal. Ucapan yang indah tanpa perbuatan hanyalah gema yang lenyap di udara. Tetapi ucapan yang dibenarkan oleh amal akan naik ke langit sebagai doa yang hidup, mengetuk pintu rahmat Allah. Begitu pula dalam kehidupan Qur’anicpreneur: strategi bisnis yang baik baru akan bernilai jika disertai niat suci dan kerja nyata. Kalam bukan sekadar alat komunikasi, tetapi sarana penghubung antara hati manusia dan ridha Allah. Maka, apakah kalam kita — baik dalam dakwah, pembelajaran, maupun bisnis — telah menjadi cahaya yang naik kepada Allah, atau masih menjadi gema kosong yang jatuh kembali karena tak disertai amal dan kejujuran?


Pesantren Raudhatul Irfan, 11 Oktober 2025