“Jumlah Musta’nafah: Memulai Kalimat Baru dalam Bahasa, Ruh, dan Kehidupan”
Penulis: Irfan Soleh
Dalam tradisi ilmu nahwu, para ulama bahasa memandang kalimat tidak semata sebagai susunan kata, tetapi sebagai cermin makna yang hidup. Salah satu bentuk kalimat yang menarik dalam pandangan mereka adalah jumlah musta’nafah, yaitu kalimat yang berdiri sendiri, tidak tergantung secara i‘rab kepada kalimat sebelumnya. Ia lahir sebagai permulaan baru—dalam bahasa nahwu disebut istinaf, yang berarti memulai kembali setelah sesuatu selesai. Kalimat seperti ini tidak menjadi sifat, tidak menjadi hal, tidak menjadi jawab syarth atau badal, tetapi hadir dengan keutuhannya sendiri, membawa pesan baru, makna baru, dan nafas baru dalam teks.
Ketika seorang ahli nahwu membaca ayat seperti “وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ”, ia tidak sekadar melihat berita tentang sifat Allah, tetapi juga menyadari bahwa ayat ini berdiri sebagai kalimat yang baru. Ia tidak tergantung pada sebelumnya, namun tetap menguatkan makna yang lalu. Inilah seni bahasa Arab yang lembut: setiap jumlah musta’nafah adalah seperti daun baru yang tumbuh dari pohon makna yang sama. Ia tidak menyalin ranting sebelumnya, tetapi tetap menyambung kehidupan dari batang yang satu.
Dalam pandangan tasawuf, jumlah musta’nafah dapat dimaknai sebagai tajallī baru dari makna Ilahi. Hidup seorang salik pun demikian: setiap momen adalah kalimat baru yang ditulis Allah dalam kitab takdirnya. Apa yang telah berlalu tidak selalu menentukan yang akan datang, sebab Allah senantiasa berhak menulis bab baru dalam perjalanan ruhani seseorang. Ketika seorang hamba terjatuh dalam kesalahan lalu bangkit, itu adalah jumlah musta’nafah dalam kehidupan spiritualnya—permulaan baru yang tidak lagi terikat pada dosa lama, tetapi berdiri karena rahmat Allah yang membuka lembaran berikutnya. Maka, jumlah musta’nafah bukan hanya konsep gramatikal, tapi juga cermin dari sifat rahman-rahim Tuhan yang memberi peluang untuk memulai dari awal tanpa beban masa lalu.
Dalam dunia Qur’anicpreneur, makna ini menemukan manifestasi praktisnya. Seorang pengusaha yang berjiwa Qurani memahami bahwa setiap kegagalan bukan akhir kalimat, melainkan tanda berhentinya satu struktur untuk memulai kalimat baru. Bisnis yang bangkrut bukan berarti kehidupan usai, tetapi seperti jumlah musta’nafah dalam ayat kehidupan—ia adalah permulaan yang berdiri sendiri, membawa visi baru yang tidak bergantung pada kesalahan sebelumnya. Di titik inilah kebijaksanaan nahwu bertemu dengan kebijaksanaan hidup: kemampuan memahami kapan harus menutup kalimat lama, dan kapan harus membuka kalimat baru dengan penuh kesadaran dan tawakal.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah sering menutup ayat dengan kalimat seperti “وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ” atau “وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ”. Kalimat-kalimat itu sering merupakan jumlah musta’nafah—berdiri sendiri namun tetap mengalir dari konteks sebelumnya. Di situlah kita belajar bahwa kemandirian makna bukan berarti keterputusan makna. Dalam kehidupan pun begitu: seseorang boleh memulai dari awal, tetapi tetap membawa hikmah dari masa lalu. Istinaf bukan pelarian, melainkan kesadaran untuk menulis kalimat baru dengan tinta yang lebih bijak.
Maka, jumlah musta’nafah menjadi simbol kesadaran bahasa sekaligus kesadaran spiritual dan ekonomi. Dalam nahwu, ia menandai batas antara kalimat yang bergantung dan kalimat yang berdiri sendiri. Dalam tasawuf, ia adalah rahmat Allah yang membuka lembaran baru dalam hati. Dalam Qur’anicpreneurship, ia adalah semangat memulai kembali dengan visi Ilahi setelah setiap ujian.
Barangkali hidup ini pun tersusun dari banyak jumlah musta’nafah—setiap hari adalah kalimat baru dalam kitab amal kita. Pertanyaannya: apakah setiap kalimat baru yang kita tulis dalam kehidupan dan usaha kita sudah benar-benar kita mulai bismi rabbina, dengan kesadaran bahwa setiap awal yang baru sejatinya adalah anugerah dari Yang Maha Memulai?
Pesantren Raudhatul Irfan, 13 Oktober 2025
.png)
0 Komentar