Hikmah Ibn ‘Athoillah dan Jalan Qur’anicpreneur: Penahanan yang Menjadi Pemberian

Penulis: Irfan Soleh


Syekh Ibn ‘Athoillah as-Sakandari dalam kitab al-Ḥikam menuliskan sebuah hikmah yang sangat dalam maknanya:


رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ، وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ، وَمَتَى فَتَحَ لَكَ بَابَ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ، عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ


"Bisa jadi Allah memberimu lalu menghalangimu (dari taufiq), dan bisa jadi Allah menahanmu tetapi justru memberi kepadamu. Dan apabila Allah membukakan bagimu pemahaman pada makna ‘penahanan’-Nya, maka penahanan itu akan tampak sebagai pemberian yang sejati."


Hikmah ini menjadi cermin mendalam bagi perjalanan hidup seorang hamba. Bukan hanya dalam ibadah murni, tetapi juga dalam dunia usaha, perjuangan santri, dan cita-cita pelajar. Inilah yang dalam bahasa pesantren bisa kita sebut sebagai jalan Qur’anicpreneur: berwirausaha dengan ruh Al-Qur’an, di mana keuntungan dunia tidak boleh menghapus keberkahan ukhrawi.


Lalu bagaimana kita memahami bahwa pemberian Allah bisa berubah menjadi penahanan, dan penahanan Allah justru bisa menjadi pemberian? Apa makna ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi dalam menjelaskan hal ini? Dan bagaimana seorang santri atau pelajar bisa mengambil pelajaran dari hikmah ini untuk menjadi Qur’anicpreneur yang sejati?


Pemberian yang Menjadi Penahanan


Kadang Allah memberi sesuatu yang kita anggap nikmat, tapi ternyata justru menjadi penghalang. Ada orang yang diberi rezeki melimpah, usaha maju, dan keuntungan besar, tetapi sibuknya dengan dunia membuatnya lupa pada Allah. Waktunya habis di pasar, tapi shalat sering terlambat. Tangannya penuh dengan hitungan laba, tetapi hatinya kosong dari dzikir. Itulah contoh nyata pemberian yang sejatinya penahanan.


Allah menegaskan dalam QS. Asy-Syura: 27:


﴿وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ﴾


"Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan melampaui batas di muka bumi. Tetapi Allah menurunkan rezeki menurut kadar yang Dia kehendaki."


Artinya, tidak semua kelapangan itu baik. Kadang rezeki yang terlalu luas membuat manusia berlebihan, lupa pada batas, dan akhirnya merusak dirinya sendiri.


Di sinilah kemudian Allah menambahkan pelajaran dalam QS. al-Baqarah: 216:


﴿وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾


"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."


Ayat ini menjadi penegas makna hikmah Ibn ‘Athoillah. Apa yang kita sangka baik belum tentu bermanfaat, dan apa yang tampak pahit bisa jadi justru kebaikan yang disembunyikan Allah.


Penahanan yang Menjadi Pemberian


Di sisi lain, banyak orang merasa kecewa saat rezekinya terbatas, usahanya kecil, atau hidupnya serba sederhana. Padahal bisa jadi di balik keterbatasan itu, Allah sedang menanamkan mutiara besar dalam dirinya: kesabaran, ketekunan, kemandirian, dan tawakkal.


Seorang santri yang hidup pas-pasan mungkin iri melihat temannya yang lebih mapan. Tetapi justru karena serba terbatas, ia terbiasa berhemat, kuat menahan keinginan, tekun berusaha, dan lebih menghargai nikmat sekecil apapun. Kelak ketika ia terjun menjadi Qur’anicpreneur, sifat-sifat itu akan menjadi modal yang jauh lebih berharga daripada uang.


Rasulullah ﷺ bersabda:


إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ


"Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka." (HR. Tirmidzi)


Ujian dan penahanan bukan tanda benci, tapi tanda cinta.


Santri dan Jalan Qur’anicpreneur


Mari kita bayangkan seorang santri alumni yang ingin membuka usaha. Ia tidak punya modal besar, hanya warung kecil di depan rumah. Tetapi ia berusaha jujur, ramah, dan tetap mengajar ngaji di sela-sela usahanya. Dari sisi bisnis, warungnya mungkin kecil. Namun dari sisi taufiq, Allah membukakan keberkahan: warungnya dicintai masyarakat, rezekinya cukup, dan hidupnya penuh ketenangan.


Sebaliknya, ada yang diberi modal besar tetapi lupa pada Allah, sehingga justru terseret dalam hutang, iri, dan persaingan tak sehat. Inilah perbedaan antara rezeki yang berkah dengan rezeki yang menipu. Konsep Qur’anicpreneur mengajarkan bahwa keberhasilan bukan sekadar soal untung rugi, tetapi apakah usaha kita mendatangkan ridha Allah atau tidak.


Kegagalan sebagai Guru, Kesuksesan sebagai Ujian


Dalam dunia Qur’anicpreneur, kegagalan bukan berarti Allah menutup jalan. Ia bisa jadi ladang pelatihan jiwa. Santri yang pernah gagal jualan gorengan di pesantren bisa belajar banyak tentang manajemen, kesabaran, dan kreativitas.

Kisah Nabi Yusuf عليه السلام juga menjadi cermin. Beliau dipenjara—sebuah keadaan yang secara lahir tampak sebagai kegagalan. Tetapi dari penjara itu Allah membuka jalan hingga ia menjadi penguasa Mesir. Artinya, man’i (penahanan) bisa menjadi ‘athā (pemberian).


Penutup: Keseimbangan dalam Jalan Hidup


Hikmah Ibn ‘Athoillah memberi pelajaran mendalam: jangan bangga berlebihan saat diberi, jangan pula putus asa saat ditahan. Karena hakikat nikmat bukanlah apa yang terlihat, melainkan apa yang mendatangkan taufiq.


Seorang Qur’anicpreneur harus menyeimbangkan hati: ketika diberi kelapangan, syukur dan gunakan untuk kebaikan; ketika ditahan, sabar dan yakin ada kebaikan yang lebih besar.


Jika ini tertanam dalam hati santri, pelajar, dan setiap pejuang usaha, maka lahirlah generasi Qur’anicpreneur yang tidak hanya sukses secara bisnis, tetapi juga mulia di sisi Allah.


Pesantren Raudhatul Irfan, 3 Oktober 2025