Entrepreneurship Qur’ani: Menjadi Pencari Karunia Allah di Muka Bumi

Penulis: Irfan Soleh


Dalam pandangan Al-Qur’an, bekerja, berdagang, dan berusaha bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi bagian dari perjalanan spiritual manusia. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk berdiam diri menunggu rezeki turun dari langit, melainkan mendorongnya untuk bergerak, berikhtiar, dan berinovasi. Namun, bagaimana Al-Qur’an memandang entrepreneurship? Apakah bisnis hanya sekadar mencari keuntungan, atau ada makna yang lebih dalam di balik aktivitas ekonomi seorang mukmin?


Pertanyaan ini dijawab dengan sangat indah dalam firman Allah, “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah...” (QS. Al-Jumu‘ah: 10). Ayat ini mengajarkan bahwa seorang Muslim sejati harus menyeimbangkan antara ibadah dan aktivitas duniawi. Setelah bersujud dalam ketenangan masjid, ia keluar menapaki bumi dengan semangat menebar manfaat. Entrepreneurship dalam makna Qur’ani bukan hanya tentang berdagang, tapi tentang bertebaran mencari fadh-lillah — karunia Allah — dengan kesungguhan dan kejujuran.


Spirit mencari karunia itu ditegaskan lagi dalam ayat lain, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu...” (QS. Al-Baqarah: 198). Di tengah ibadah haji yang begitu agung pun, Allah tidak melarang perdagangan. Ini menunjukkan bahwa aktivitas bisnis bukan hal sekuler yang terpisah dari spiritualitas, melainkan bagian dari ibadah itu sendiri. Seorang Qur’anic Entrepreneur memaknai bisnis sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjauh dari-Nya.


Namun, Al-Qur’an juga menegakkan etika yang ketat dalam berbisnis. Allah berfirman, “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29). Ayat ini menegaskan prinsip utama ekonomi Islam: kejujuran, keadilan, dan keridhaan. Dalam konteks ini, entrepreneurship bukan sekadar tentang kemampuan menciptakan peluang, tapi juga tentang menjaga integritas dan amanah. Seorang pengusaha Muslim tidak menipu dalam timbangan, tidak menimbun barang, dan tidak memanipulasi pasar. Ia berdagang dengan nilai dan akhlak, bukan dengan tipu daya.


Al-Qur’an pun mengingatkan agar semangat ekonomi tidak membuat manusia lupa arah hidupnya. “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qashash: 77). Inilah keseimbangan yang harus dijaga: dunia dijadikan ladang amal, bukan tujuan akhir. Entrepreneur Qur’ani tidak terikat oleh materi, tetapi menggunakan materi sebagai alat untuk melayani manusia dan memuliakan Allah. Ia tahu bahwa setiap transaksi di dunia akan dicatat sebagai transaksi akhirat.


Spirit kerja keras itu ditegaskan oleh firman Allah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 105). Ayat ini bukan hanya perintah untuk bekerja, tetapi panggilan untuk profesional, amanah, dan bertanggung jawab. Setiap produk, setiap jasa, setiap keputusan bisnis adalah persembahan yang dilihat Allah. Maka seorang entrepreneur Muslim selalu meniatkan setiap pekerjaannya sebagai ibadah dan bentuk syukur.


Dalam ayat lain, Allah menggambarkan bumi sebagai tempat eksplorasi dan kreativitas manusia, “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15). Di sinilah nilai inovasi dalam entrepreneurship Qur’ani: keberanian menjelajahi, mencipta, dan mengelola potensi bumi. Entrepreneur tidak takut gagal karena ia yakin setiap langkahnya adalah bentuk tawakkal kepada Allah, Sang Pemilik rezeki.


Bagi para salik — pejalan menuju Allah — entrepreneurship bukan sekadar profesi, tapi jalan suluk. Ia berjalan di muka bumi mencari karunia Allah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Muzzammil ayat 20, dan di setiap langkahnya ia meneguhkan niat bahwa usahanya bukan untuk kesombongan atau penumpukan harta, melainkan untuk keberkahan dan kemaslahatan. Ia sadar bahwa rezeki bukan hanya tentang jumlah, tapi tentang berkah; bukan hanya tentang kepemilikan, tapi tentang manfaat.


Dengan demikian, entrepreneurship dalam pandangan Qur’ani adalah wujud dari ta’abbud ilallah — penghambaan kepada Allah melalui kerja produktif. Ia bukan jalan duniawi, tapi jalan ibadah. Ia menuntun manusia menjadi khalifah yang kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab dalam memakmurkan bumi. Maka, seorang Qur’anic Entrepreneur adalah orang yang menjadikan bisnisnya sebagai dzikir, keuntungannya sebagai sedekah, dan usahanya sebagai doa yang bergerak. Sebab sejatinya, karunia Allah tidak datang kepada mereka yang menunggu, tetapi kepada mereka yang berani melangkah di muka bumi — dengan niat suci, tangan yang bekerja, dan hati yang selalu mengingat-Nya.


Pesantren Raudhatul Irfan, 26 Oktober 2025