Dari Keringat ke Keberkahan: Jejak Wirausaha Babah H. Ateng Kadar Soleh dalam Cahaya Entrepreneurship

Penulis: Irfan Soleh


Dalam sejarah hidup setiap insan yang berjuang dari bawah, selalu tersimpan kisah yang lebih dalam dari sekadar perjalanan ekonomi—ia adalah perjalanan jiwa. Begitulah kisah Babah H. Ateng Kadar Soleh, sosok sederhana yang mengajarkan arti sejati dari entrepreneurship: bukan hanya tentang mencari untung, tapi tentang mengubah keterbatasan menjadi keberkahan, kesulitan menjadi kekuatan, dan kerja menjadi ibadah.


Ketika menikahi Hj. Eti Sumiati, mas kawin yang Babah berikan hanya tiga ribu rupiah. Tak ada hantaran mewah, tak ada pesta besar. Yang ada hanyalah niat tulus, kain samping sederhana, dan tekad untuk menjemput masa depan dengan kerja keras. Saat itu, Babah sudah yatim piatu. Rumah yang ditempati setelah menikah adalah peninggalan almarhum orang tuanya, dengan sedikit beras pemberian dari mertua. Namun di situlah bab pertama dari kisah wirausaha sejati itu dimulai.


Ketika beras terakhir habis, Babah tidak menyerah. Ia justru berpikir, “Bagaimana saya bisa memberi makan keluarga dengan tangan sendiri?” Maka dimulailah hari-hari sebagai buruh panggul singkong. Tak lama, sang istri pun ikut berjuang menjadi buruh pengupas singkong. Dari kerja kasar itu lahir kesadaran bahwa rezeki selalu menuntut usaha dan kesungguhan. Dalam ilmu entrepreneurship modern, tahap ini dikenal sebagai mindset shift —perubahan cara pandang dari bergantung pada nasib menjadi bertanggung jawab atas kehidupan sendiri.


Namun Babah tidak berhenti sebagai buruh. Ia belajar keterampilan baru: ngelentik kalapa—memproses kelapa menjadi minyak kelapa. Awalnya, ia menyewa tempat dan peralatan dari Pak Haji Zenal. Kelapanya berasal dari mertua, dengan sistem bagi hasil. Meski sederhana, sistem itu mengajarkan Babah prinsip fundamental dalam ekonomi dan bisnis: trust-based collaboration, kolaborasi berbasis kepercayaan. Tanpa modal besar, ia membangun kredibilitas. 


Dan dari kredibilitas itulah lahir modal sosial yang tak ternilai.

Sedikit demi sedikit, Babah bisa memiliki tempat pengelentikan sendiri. Orang-orang mulai mempercayakan kelapanya untuk diproses di sana. Ia memanggul sendiri, memeras sendiri, dan menjual hasilnya sendiri. Dalam istilah entrepreneurship, Babah telah melewati fase bootstrapper: membangun usaha dengan sumber daya minimal namun dengan maksimal kreativitas dan kerja keras.


Namun dunia usaha selalu berubah. Bisnis minyak kelapa tradisional mulai kalah oleh teknologi modern. Di sinilah Babah menunjukkan karakter seorang resilient entrepreneur—wirausahawan tangguh yang mampu bangkit dari keterpurukan. Ia tidak menyesali perubahan, tapi membaca arah zaman. Ia beralih ke dunia kawung—pohon aren yang dijadikan tepung aren, atau dikenal juga sebagai tepung kawung.


Awalnya, ia hanya ikut “ngala kawung” dan menggiling hasilnya di pabrik orang lain. Tapi dari hasil sedikit demi sedikit, Babah menabung dan berinvestasi di sektor riil: membeli padi, mengelola hasil bumi, hingga akhirnya membangun penggilingan aren sendiri. Ia tidak sekadar menjadi pekerja, tetapi menjadi pencipta nilai tambah—ciri khas seorang entrepreneur sejati.


Ketekunannya melahirkan inovasi. Proses penggilingan yang dulunya memakan waktu seminggu per truk ia ubah menjadi hanya satu hari. Efisiensi dan produktivitas meningkat drastis. Dalam bahasa ilmu ekonomi modern, Babah telah menerapkan prinsip process innovation tanpa harus bersekolah tinggi—karena ilmunya lahir dari tajribah (pengalaman), bukan sekadar teori. Sejak tahun 1980-an, bisnis tepung aren Babah terus bertahan dan berkembang. Kini, merek “AKS Gunung Wangi” menjadi market leader di Jawa Barat, bahkan distribusinya telah menembus Pulau Sumatra.


Kisah Babah H. Ateng Kadar Soleh bukan sekadar kisah sukses bisnis. Ia adalah pelajaran hidup tentang nilai-nilai entrepreneurship yang berakar pada spiritualitas: ikhtiar, amanah, istiqamah, dan tawakal. Ia membuktikan bahwa modal utama dalam berwirausaha bukan uang, tetapi niat yang benar, kerja keras yang konsisten, dan kepercayaan yang dijaga.


Dalam pandangan tasawuf, Babah adalah sosok salik fil kasb—pejalan menuju Allah melalui jalan usaha. Ia menjadikan keringat sebagai zikir, kerja sebagai ibadah, dan keberhasilan sebagai amanah. Karena bagi seorang mukmin, menjadi pengusaha bukan hanya soal mencari rezeki, tetapi menjadi jalan untuk menebar keberkahan bagi keluarga, masyarakat, dan umat.


Apakah bukan ini hakikat sejati entrepreneurship yang diajarkan dalam Islam? Bahwa setiap usaha yang dimulai dengan niat lillāh, dikerjakan dengan kesungguhan, dan dijaga dengan amanah—akan tumbuh menjadi pohon berkah yang buahnya terus menghidupi generasi setelahnya.

Babah H. Ateng Kadar Soleh telah menanam pohon itu dengan keringat dan doa, dan kini generasi setelahnya tinggal merawat buah dari perjuangan yang tumbuh di tanah keberkahan.


Pesantren Raudhatul Irfan, 28 Oktober 2025