Babah, Pejalan dari Debu Menuju Cahaya

(Refleksi Seorang Anak untuk Ayahanda Babah H. Ateng Kadar Soleh di Usia 67 Tahun)

Penulis: Irfan Soleh


Ada kalimat yang selalu saya yakini dalam hidup: bahwa sebagian manusia tidak belajar dari buku, tetapi dari perjalanan kehidupan. Dan Babah saya — H. Ateng Kadar Soleh — adalah salah satu dari mereka yang menjadikan kehidupan sebagai madrasah, dan setiap luka sebagai guru ruhani. Melalui tulisan ini, penulis ingin memperlihatkan proses yang tidak mudah dari seorang yatim piatu di usia belia hingga berhasil mendirikan AKS Gunung Wangi dan Pesantren Raudhatul Irfan, bagaimana kisahnya? Seperti apa perjalanannya?


Babah lahir pada 27 Oktober 1958, di tengah kehidupan yang sangat sederhana. Di usia yang masih kecil, ketika sebagian anak-anak lain belajar mengeja huruf hijaiyah di madrasah, Babah sudah belajar mengeja arti kehilangan. Beliau menjadi yatim piatu di usia belia. Kakek dan nenek yang sempat menjadi tempat bernaung pun wafat, meninggalkannya sendirian menghadapi dunia. Sekolahnya hanya sampai Madrasah Ibtidaiyah. Namun siapa yang menyangka, anak yatim yang hanya lulusan MI itu kelak akan menjadi pelita bagi banyak jiwa?Dari sinilah perjalanan seorang salik bermula — bukan di jalan yang terang, tetapi dari lorong gelap yang beliau lalui dengan sabar dan keyakinan.


Babah pernah bercerita kepada kami ketika kakak saya, Hj. Sri Mulyati menikah dengan H. II Kustiwa. Waktu itu Babah menuturkan perjalanan hidupnya dengan nada tenang namun dalam: bahwa beliau pernah pergi ke Bandung mencari nafkah, jualan roti keliling, namun pulang kembali ke kampung halaman untuk jadi kuli panggul kayu dan jualan kelapa dan membuat minyak kelapa, hingga akhirnya menemukan wasilah rezekinya di dunia tepung aren. semuanya dimulai dari modal kepercayaan, kerja keras dan sedikit demi sedikit mengumpulkan modal usaha


Dari modal kesabaran menjalani proses, lahirlah perusahaan Tepung Aren AKS Gunung Wangi, sebuah usaha yang tidak sekadar memberi penghasilan, tapi juga memberi manfaat. Bagi Babah, usaha bukan jalan menuju kekayaan dunia, melainkan ladang ibadah dan keberkahan. Setiap butir tepung yang diproduksi adalah saksi dzikir yang diam-diam naik ke langit.


Namun keajaiban hidup Babah tidak berhenti di situ. Dari hasil kerja keras yang penuh berkah itu, beliau membangun Pesantren Raudhatul Irfan di Ciamis. Pesantren yang kini saya diamanahi untuk mengasuhnya. Saya, anak kedua, diberi kepercayaan oleh Babah untuk melanjutkan perjuangan spiritualnya. Babah yang hanya tamat madrasah, justru melahirkan seorang anak yang menamatkan jenjang doktoral, dan kini mendidik lebih dari 400 santri. Betapa Allah membalikkan keadaan dengan cara yang indah: dari seseorang yang dulu tak sempat lama belajar di pesantren, kini menjadi sebab berdirinya pesantren yang melahirkan para penuntut ilmu.


Dalam pandangan saya, Babah bukan hanya pengusaha tepung aren — beliau adalah murabbi ruhani yang berjalan dalam diam. Seperti para sufi yang tak banyak berbicara, tapi menyalakan cahaya lewat amal nyata. Di bidang tepung aren, Babah termasuk yang paling sepuh, menjadi pembimbing para pengusaha muda, mengajari mereka bukan hanya cara membuat tepung, tapi juga cara menjaga niat agar usaha tetap menjadi ibadah, memberi contoh bagaimana bisnis menjadi wasilah ibadah.


Kini, di usia 67 tahun, ketika banyak orang mulai memikirkan pensiun, Babah justru memikirkan pembangunan (pesantren). Beliau masih aktif mengurus usaha, bahkan membuka usaha baru: keripik pisang dengan brand Qripix. Tapi saya tahu, niatnya bukan untuk mengumpulkan harta pribadi. Ia hanya ingin satu: agar hasil usahanya menjadi bahan bakar dakwah dan pendidikan di Pesantren Raudhatul Irfan. Bahkan Babah masih sempat memikirkan pesantren untuk cucu-cucu nya dan generasi penerus keluarga.


Sebagai anak lelaki, saya sering merenung: bagaimana mungkin seseorang yang hanya tamatan madrasah ibtidaiyah, bisa membangun lembaga pendidikan yang kini menebar manfaat bagi ummat? Jawabannya hanya satu: barakah. Dalam bahasa tasawuf, barakah adalah limpahan rahmat Allah yang mengalir dari hati yang ikhlas. Dan saya percaya, Babah adalah sosok yang hidupnya penuh barakah karena beliau tidak pernah bekerja untuk dirinya sendiri — semua untuk Allah, untuk umat, dan untuk pesantren.


Saya ingin, kelak seluruh harta dan usaha Babah menjadi waqf jariyah yang mengalir tanpa henti. Saya ingin menjadikannya wasilah ibadah melalui pesantren yang beliau dirikan. Sebab saya tahu, itu pasti keinginan terdalamnya: agar setiap hasil kerja menjadi amal, dan setiap keringat menjadi doa yang abadi.


Di usia yang penuh cahaya ini, saya tidak hanya melihat Babah sebagai sosok keluarga, tapi sebagai wali kesabaran. Dari yatim menjadi pembimbing, dari ketiadaan menjadi keberlimpahan, dari sepi menjadi pusat keberkahan. Babah telah memperjalani hidup sebagaimana salik sejati: menempuh thariqah dunia menuju hakikat ridha Allah.

Dan setiap kali saya melihat beliau berjalan perlahan di halaman pesantren, saya tahu: Babah bukan sedang berjalan di atas tanah, tapi di atas jejak waktu yang telah beliau ubah menjadi taman amal.


Semoga Allah memanjangkan umurmu, Babah. Semoga setiap langkahmu dicatat sebagai sujud panjang di jalan dakwah. Dan semoga seluruh keturunanmu kelak dapat menjaga warisanmu bukan hanya dalam bentuk harta, tapi dalam bentuk nilai — nilai ikhlas, kerja keras, dan cinta kepada Allah SWT.


Dari anakmu,

Dr. H. Irfan Soleh, S.Th.I, MBA

yang akan selalu berbangga berkata:

Babahku adalah sang Murobbi seorang Quranicpreneur Sejati, pejalan dari debu menuju cahaya.


Pesantren Raudhatul Irfan, 27 Oktober 2025