Antara Qabḍ (Sempit) dan Basṭ (Lapang): Jalan Quranicpreneur Menuju Allah SWT

Penulis: Irfan Soleh


Dalam dunia usaha di Indonesia, kita sering menjumpai kondisi naik-turun yang silih berganti. Ada masa ketika usaha terasa berat, penjualan menurun, bahkan kerugian datang tanpa terduga. Namun, ada pula saat usaha berkembang pesat, keuntungan meningkat, dan peluang terbuka lebar. Fenomena ini bukan sekadar dinamika pasar biasa, tetapi cermin dari sunnatullah yang menghadirkan qabḍ (sempit) dan basṭ (lapang) dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bisnis. Pertanyaannya, bagaimana seorang Qur’anicpreneur dapat memaknai dua keadaan ini, agar tidak tumbang saat kesempitan melanda, dan tidak terlena ketika kelapangan datang?


Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari dalam al-Ḥikam memberikan hikmah yang sangat mendalam:


"بَسَطَكَ كَيْ لَا يُبْقِيَكَ مَعَ الْقَبْضِ، وَقَبَضَكَ كَيْ لَا يَتْرُكَكَ مَعَ الْبَسْطِ، وَيُخْرِجُكَ عَنْهُمَا حَتَّى لَا تَكُونَ لِشَيْءٍ دُونَهُ"


“Allah melapangkanmu agar engkau tidak tetap dalam kesempitan, dan menyempitkanmu agar engkau tidak tertahan dalam kelapangan. Lalu Dia mengeluarkanmu dari keduanya, supaya engkau tidak bergantung pada sesuatu selain-Nya.”



Al-Qur’an menegaskan bahwa kondisi sempit dan lapang bukanlah kebetulan, melainkan pengaturan Allah semata:


﴿اَللَّهُ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ﴾


“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia (pula) yang menyempitkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-‘Ankabūt: 62)


Ayat ini mengingatkan bahwa baik kesempitan maupun kelapangan adalah bentuk pengetahuan dan pengaturan Allah yang penuh hikmah. Manusia tidak boleh menganggap lapang sebagai tanda dimuliakan, dan sempit sebagai tanda direndahkan. Semuanya adalah ujian.


Rasulullah ﷺ menjelaskan bagaimana seorang mukmin menyikapi dua keadaan itu:


عَنْ صُهَيْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:

«عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.»


“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik baginya. Itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali seorang mukmin: jika ia mendapat kelapangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesempitan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)


Hadits ini menjadi penjelas praktis bagi hikmah Ibnu ‘Athoillah: seorang mukmin tidak berhenti pada rasa sempit dan tidak pula hanyut dalam rasa lapang. Ia memaknai keduanya sebagai jalan menuju Allah.


Jika kita renungkan, hakikat dari kedua kondisi ini adalah tarbiyah Allah. Kesempitan membuat hati tidak bergantung pada dunia, sedangkan kelapangan menguji adab dan syukur. Namun, tujuan akhir dari semua itu adalah agar hati seorang hamba tidak berhenti pada keadaan. Hati harus terus berjalan menuju Allah, bukan terpaut pada rasa sempit maupun lapang.


Ibnu ‘Athoillah menekankan: Allah mengeluarkanmu dari keduanya agar engkau tidak bergantung kepada sesuatu selain Dia. Inilah inti tasawuf: menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran, bukan keadaan, bukan rasa, dan bukan pula pemberian dunia.


Bagi seorang Qur’anicpreneur di Indonesia, dinamika qabḍ dan basṭ sangat nyata dalam perjalanan usaha. Ketika ekonomi nasional melambat, daya beli masyarakat menurun, atau regulasi baru menekan pelaku usaha kecil, itulah momen kesempitan yang menuntut kesabaran, inovasi, dan keteguhan hati. Sebaliknya, ketika pasar sedang berkembang, konsumen meningkat, bahkan peluang ekspor terbuka, itulah masa kelapangan yang menuntut rasa syukur, pengelolaan bijak, serta kesadaran bahwa semua karunia adalah titipan Allah. 


Dengan memaknai kesempitan sebagai ladang kesabaran dan kelapangan sebagai ladang syukur, seorang Qur’anicpreneur tidak akan larut dalam euforia keberhasilan atau terpuruk dalam kegagalan. Ia justru melihat keduanya sebagai kurikulum Allah untuk mendewasakan jiwa bisnisnya, agar tetap tawakal dan bergantung hanya kepada-Nya.


Maka, bagi seorang mukmin, qabḍ dan basṭ adalah dua sisi dari satu mata pelajaran hidup. Dalam sempit ada latihan sabar, dalam lapang ada latihan syukur. Keduanya sama-sama baik, selama hati tidak berhenti pada keadaan, melainkan terus berjalan menuju Allah. Inilah yang menjadikan seorang mukmin selalu berada dalam kebaikan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Seluruh urusannya adalah baik baginya.”


Pesantren Raudhatul Irfan, 3 Oktober 2025