Adabul Riḍā wa as-Sakhṭ: Seni Menerima Takdir dengan Hati yang Tenang
Penulis: Irfan Soleh
Mengapa sebagian orang mampu tersenyum dalam ujian, sementara sebagian lainnya mudah mengeluh bahkan dalam nikmat? Apakah rahasianya ada pada kekuatan diri, atau pada kedekatan hati dengan Allah? Pertanyaan ini membawa kita kepada maqām mulia dalam perjalanan ruhani — adabul riḍā wal sakhṭ, adab dalam kerelaan dan ketidaksenangan terhadap takdir Allah.
Allah ﷻ berfirman:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah; dan siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS At-Taghābun: 11)
Ayat ini bukan sekadar peringatan teologis, tapi juga undangan spiritual: agar hati seorang mukmin tidak lagi menolak takdir, tetapi belajar membaca rahasia di baliknya. Karena ketika seseorang benar-benar beriman, Allah akan menuntun hatinya agar tahu — bahwa di balik pahitnya keadaan, selalu ada kasih yang tersembunyi.
Makna Riḍā dalam Jalan Ruhani
Riḍā, dalam bahasa sufistik, bukan berarti tidak merasa sedih, tapi tetap tenang dalam kesedihan. Ia bukan mematikan rasa, melainkan menyucikan rasa agar tunduk kepada kehendak Allah.
Ibnu ‘Aṭā’illah berkata dalam al-Ḥikam:
"ارْتَحِلْ مِنْ أَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ إِلَى شُمُوسِ رَبَّانِيَّتِكَ، تَجِدِ الرَّاحَةَ وَالنَّعِيمَ وَالْبَهْجَةَ."
“Berpindahlah dari sifat-sifat kemanusiaanmu menuju cahaya ketuhananmu, maka engkau akan menemukan ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan.”
Artinya, selama seseorang masih memandang takdir dengan kacamata ego dan logika semata, ia akan terus bergolak. Tapi ketika ia melihat dengan mata hati — bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Ar-Raḥmān — maka hatinya menjadi tenang meski dunia bergoncang.
Riḍā adalah buah dari ma‘rifah. Orang yang mengenal Allah tidak lagi sibuk menuntut keadaan ideal, karena ia tahu bahwa setiap keadaan yang Allah pilih adalah yang terbaik untuk dirinya, meskipun pahit bagi nafsunya. Ia tidak lagi berkata “mengapa ini terjadi padaku”, tapi “apa pesan Allah di balik ini”.
As-Sakhṭ: Ketidaksenangan yang Menjauhkan
Sebaliknya, as-sakhṭ (ketidaksenangan) muncul dari hati yang belum mengenal hikmah di balik ketetapan Allah. Ia mudah gelisah, merasa dizalimi, dan sering menuntut agar hidup sesuai dengan keinginannya. Padahal, seperti yang diingatkan oleh Imam al-Ghazali, “orang yang menolak takdir sesungguhnya sedang menolak kasih Allah dalam bentuk yang berbeda.”
Dalam kehidupan sehari-hari, sakhṭ bisa muncul halus — bukan berupa makian kepada takdir, tapi dalam bentuk keluhan, kesal, dan rasa tidak puas. Padahal, justru di titik itu Allah sedang mendidik.
Maka adab seorang murid dalam menghadapi takdir adalah menjaga lidah, menundukkan akal, dan membuka hati. Ketika musibah datang, jangan buru-buru menolak, tapi tarik napas dan katakan: “Hādzā min ‘indi Rabbī” — “Ini datang dari Tuhanku.” Dengan begitu, riḍā akan tumbuh perlahan dari pengakuan, lalu menjadi ketenangan.
Riḍā sebagai Puncak Adab Sufi
Dalam pandangan para arifīn, riḍā adalah mahkota maqām hati setelah sabar, syukur, dan tawakal. Ia bukan maqām yang dipelajari dengan logika, tapi dibangun dengan dzikir, muraqabah, dan tadabbur terhadap kasih Allah.
Syaikh Abū al-Qāsim al-Qushayrī menjelaskan dalam Risālah-nya: “Ar-riḍā huwa sukunul qalbi tahta jaryāni al-ḥukmi.” “Ridha adalah tenangnya hati di bawah derasnya ketetapan Allah.”
Bayangkan hati seperti daun yang terapung di atas air sungai. Orang yang belum ridha akan terus melawan arus, sementara orang yang ridha akan mengalir tenang bersama kehendak-Nya — tidak pasrah buta, tapi pasrah yang sadar, pasrah yang cerdas, pasrah yang yakin bahwa tidak ada gerak kecuali dengan izin-Nya.
Riḍā dalam Kehidupan Santri dan Qur’anicpreneur
Dalam dunia santri, riḍā adalah kunci ketenangan belajar. Tidak semua santri mendapat fasilitas sama, tidak semua guru mudah dipahami, tidak semua jalan hidup lurus dan ringan. Tapi santri yang beradab tahu bahwa semua itu adalah bagian dari tarbiyah Allah. Ia belajar dengan riḍā, bukan sekadar dengan akal, tapi dengan jiwa yang pasrah kepada kehendak-Nya.
Dalam dunia Qur’anicpreneur, riḍā menjadi fondasi kesuksesan batin. Banyak pengusaha yang jatuh bukan karena gagal secara bisnis, tapi karena hatinya menolak qadar Allah. Orang yang ridha akan tetap bersyukur ketika proyek tertunda, karena ia yakin: rezeki yang ditunda bukan rezeki yang hilang. Ia tidak mudah putus asa, karena ia tahu Allah tidak pernah menutup pintu, hanya mengganti arah.
Seorang pengusaha berjiwa riḍā tidak bekerja untuk hasil, tapi untuk ridha Allah. Maka hasil apa pun yang datang — laba atau rugi, pujian atau hujatan — semuanya ia terima dengan lapang. Karena ia tahu, yang terpenting bukan “berapa banyak” yang ia dapat, tapi “seberapa dekat” ia dengan Allah setelah melalui itu semua.
Buah dari Riḍā: Cinta yang Mendalam
Ketika seseorang telah mencapai maqām riḍā, ia akan merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata: mahabbah — cinta yang lahir dari kepasrahan. Ia tidak lagi memohon agar keadaan berubah, tapi agar hatinya tetap tenang dalam keadaan apa pun. Ia tidak lagi takut kehilangan dunia, karena yang ia cintai bukan dunia, tapi Pemilik dunia.
Dalam keadaan itu, ia bisa berdoa dengan lirih:
اللهم اجعلني راضياً عنك، راضياً بما قسمتَ لي، حتى لا أحبَّ تعجيل ما أخرتَ، ولا تأخير ما عجلتَ.
“Ya Allah, jadikan aku ridha kepada-Mu, ridha dengan ketetapan-Mu, hingga aku tidak lagi mencintai percepatan atas yang Engkau tunda, dan tidak membenci penundaan atas yang Engkau percepat.”
Itulah puncak kedewasaan spiritual — saat hati tidak lagi berjuang untuk mendapatkan sesuatu dari Allah, tapi berjuang untuk menjadi seseorang di hadapan Allah.
Penutup
Perjalanan dari al-qabḍ wal-basṭ, lalu al-faqru wal-ghinā, hingga ar-riḍā was-sakhṭ adalah jalan mendaki menuju kedewasaan ruhani. Di awal, Allah mendidik dengan sempit dan lapang; di tengah, Ia uji dengan miskin dan kaya; dan di akhir, Ia tanyakan: “Apakah engkau ridha dengan Aku sebagaimana Aku ridha kepadamu?”
Maka, siapa pun yang mampu ridha kepada Allah dalam setiap keadaan — dialah yang telah merasakan surga sebelum surga, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا.
“Telah merasakan manisnya iman, orang yang ridha dengan Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya.” (HR. Muslim)
Semoga Allah menjadikan hati kita termasuk yang tenang dalam qadha-Nya, bersyukur dalam nikmat-Nya, dan ridha dalam setiap kehendak-Nya.
Pesantren Raudhatul Irfan, 14 Oktober 2025
0 Komentar