Adabul Maḥabbah wal Khauf war Rajā’: Menyatu dalam Cinta, Takut, dan Harap

Penulis: Irfan Soleh


Mengapa sebagian hamba bisa menangis dalam sujud bukan karena takut neraka, tapi karena rindu kepada Allah? Dan mengapa sebagian lain justru takut kehilangan cinta-Nya lebih daripada kehilangan dunia? Di sinilah letak keindahan maqām keempat: adabul maḥabbah wal khauf war rajā’ — adab dalam mencintai, takut, dan berharap kepada Allah. Perjalanan ini bukan sekadar soal perasaan, tapi tentang bagaimana hati mencapai keseimbangan antara tiga sayap utama iman: cinta yang menggerakkan, takut yang menjaga, dan harap yang menenangkan.


Allah ﷻ berfirman dalam Surah As-Sajdah ayat 16–17:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ۝ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidur, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan. Maka tiada seorang pun mengetahui balasan apa yang disembunyikan bagi mereka — penyejuk mata sebagai ganjaran atas amal mereka.”


Ayat ini menggambarkan tiga kekuatan ruhani yang membuat seseorang hidup bukan hanya dengan jasad, tapi dengan hati.


Maḥabbah (Cinta): Gerak Hati Menuju Allah


Cinta adalah bahan bakar ibadah. Tanpa cinta, amal menjadi kering. Tanpa cinta, ilmu menjadi beku. Tapi cinta yang benar bukan sekadar perasaan lembut, melainkan kesadaran bahwa Allah adalah tujuan segalanya.

Ibnu ‘Aṭā’illah berkata dalam al-Ḥikam:

"مَن أَحَبَّ اللهَ، لَمْ يُؤْثِرْ عَلَى اللهِ شَيْئًا."

“Siapa yang mencintai Allah, ia tidak akan mengutamakan sesuatu di atas Allah.” Cinta kepada Allah bukanlah kata manis di lisan, tapi pilihan dalam setiap situasi. Ketika dua jalan terbuka — satu mudah tapi menjauh dari Allah, dan satu sulit tapi mendekat kepada-Nya — cinta akan selalu memilih jalan yang terakhir.


Cinta sejati tidak menuntut balasan, karena ia merasa cukup dengan keberadaan Sang Kekasih. Orang yang mencintai Allah tidak lagi menyembah karena ingin surga atau takut neraka, tetapi karena ia tahu: ibadah adalah bentuk syukur, bukan transaksi.


Sebagaimana Rābi‘ah al-‘Adawiyyah berdoa:

اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ أَعْبُدُكَ خَوْفًا مِنْ نَارِكَ فَاحْرِقْنِي بِهَا، وَإِنْ كُنْتُ أَعْبُدُكَ طَمَعًا فِي جَنَّتِكَ فَاحْرِمْنِي مِنْهَا، وَلَكِنْ إِنْ كُنْتُ أَعْبُدُكَ حُبًّا لَكَ فَلَا تَحْرِمْنِي مِنْ رُؤْيَتِكَ.

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya; jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, haramkanlah aku darinya; tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka jangan Engkau jauhkan aku dari melihat wajah-Mu.” Inilah puncak maḥabbah: ibadah yang lahir dari kerinduan, bukan dari kewajiban.


Khauf (Takut): Penjaga Kemurnian Cinta


Takut kepada Allah bukan berarti takut kepada sosok yang menakutkan, tapi takut kehilangan kasih-Nya. Takut di sini bukan menindas jiwa, tapi menumbuhkan kesadaran moral. Ia ibarat pagar bagi taman cinta: melindungi agar bunga kasih tidak layu karena maksiat. Rasa takut yang benar bukanlah ketakutan yang membuat putus asa, melainkan ketakutan yang membuat hati berhati-hati. Nabi ﷺ bersabda:

لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا

“Jika kalian tahu apa yang aku tahu, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari). Rasa khauf membuat seorang hamba tidak berani menipu dalam dagang, tidak berani menunda shalat, dan tidak berani meremehkan dosa kecil. Ia bukan ketakutan yang membatasi, tapi kesadaran yang menuntun.


Dalam kehidupan Qur’anicpreneur, khauf membuat seorang pengusaha jujur — bukan karena takut rugi, tapi karena takut kehilangan barakah. Ia berhati-hati bukan karena takut pada hukum, tapi karena ia tahu Allah Maha Melihat bahkan dalam niat.


Rajā’ (Harap): Cahaya yang Menenangkan


Jika khauf adalah pagar, maka rajā’ adalah cahaya. Ia memberi harapan di tengah gelapnya dosa, memberi ketenangan di tengah ujian berat. Allah ﷻ berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ

“Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (QS Az-Zumar: 53)


Rajā’ bukan harapan kosong, tapi harapan yang tumbuh dari iman. Ia tidak berkata “Allah pasti memaafkan” lalu berbuat dosa, tetapi berkata “aku akan bertobat karena Allah masih membuka pintu maaf.”


Dalam dunia santri, rajā’ adalah semangat untuk terus memperbaiki diri meski sering jatuh. Dalam dunia Qur’anicpreneur, rajā’ adalah keyakinan bahwa kegagalan hari ini bisa menjadi keberkahan besok — selama masih ada Allah yang Maha Mencukupi.


Keseimbangan Tiga Sayap


Para arifīn menggambarkan hati seorang mukmin seperti burung: Kepalanya adalah cinta (maḥabbah), Sayap kanannya adalah harap (rajā’), Sayap kirinya adalah takut (khauf). Jika kepala terpotong — hilang cinta — maka ia mati.

Jika satu sayap patah, ia tak bisa terbang lurus. Maka keseimbangan ketiganya adalah tanda kematangan iman.

Santri yang cinta kepada Allah akan semangat menuntut ilmu.


Santri yang takut kepada Allah akan menjaga adab. Santri yang berharap kepada Allah akan sabar dalam proses. Begitu pula Qur’anicpreneur sejati: ia mencintai Allah dalam usahanya, takut menodai kejujuran, dan berharap agar usahanya menjadi jalan keberkahan.


Penutup: Menjadi Pecinta yang Tak Gentar


Pada akhirnya, cinta kepada Allah adalah rahasia kebahagiaan sejati. Ia membuat sedih terasa lembut, ujian terasa manis, dan dunia menjadi ringan. Orang yang mencintai Allah tidak lagi takut kehilangan dunia, karena ia sudah menemukan makna di dalam-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam hadis Qudsi:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ...

“Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya...” (HR. Bukhari)


Cinta adalah maqām yang menenangkan sekaligus menggetarkan: menenangkan karena yakin dicintai Allah, dan menggetarkan karena takut mengecewakan-Nya.

Semoga Allah menanamkan dalam hati kita cinta yang mendidik, takut yang menuntun, dan harapan yang menenangkan — agar hidup kita, baik di pesantren maupun di dunia usaha, senantiasa berporos pada satu arah:

Menuju Allah dengan cinta, dijaga oleh takut, dan disemangati oleh harapan.


Pesantren Raudhatul Irfan, 14 Oktober 2025