Adabul Faqri wal Ghinā: Etika Ruhani dalam Kekurangan dan Kelapangan
Penulis: Irfan Soleh
Pernahkah engkau merasa bahwa kekurangan adalah kehinaan, sementara kelapangan adalah kemuliaan? Padahal keduanya hanyalah dua keadaan yang Allah selipkan dalam perjalanan hidup manusia, bukan sebagai tanda cinta atau murka, tetapi sebagai ujian adab dan keimanan.
Allah berfirman dalam Surah Al-Fajr ayat 15–17:
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا
“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan dan diberi kesenangan, ia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apabila Dia mengujinya dan membatasi rezekinya, ia berkata: ‘Tuhanku menghinaku.’ Sekali-kali tidak demikian!”
Ayat ini menolak pandangan manusia yang sering menilai kemuliaan dari harta, dan kehinaan dari kekurangan. Dalam pandangan Allah, faqir dan ghani sama-sama bisa menjadi jalan menuju kedekatan, tergantung bagaimana adab seorang hamba menjalaninya.
Fakr: Saat Allah Mengosongkan untuk Mengisi
Fakir (faqru) bukan sekadar miskin harta, tapi rasa ketergantungan total kepada Allah. Seorang arif berkata:
"الفقر الحقيقي أن لا ترى لنفسك شيئًا سوى الله."
“Fakir sejati adalah ketika engkau tidak melihat apa pun bagi dirimu selain Allah.”
Maka adab seorang fakir bukanlah mengeluh atas kekurangan, tetapi menjaga hatinya agar tetap mulia dalam kesederhanaan. Fakir sejati tidak meminta belas kasihan manusia, karena ia tahu rezeki tidak datang dari arah yang tampak. Dalam kekurangan, ia menemukan kenikmatan tersembunyi: bahwa ia bisa lebih dekat kepada Rabb-nya tanpa beban dunia.
Dalam kehidupan santri, fakir mengajarkan kesederhanaan yang bukan kemiskinan, tapi kebersihan jiwa. Seorang santri yang ikhlas belajar meski makan seadanya, itulah fakir yang beradab. Dalam dunia Qur’anicpreneur, fakir bukan berarti tak punya modal, tapi memiliki hati yang bergantung hanya pada Allah, bukan pada angka dalam rekening.
Ketika engkau fakir dan tetap bersyukur, Allah sedang memuliakanmu dengan cara yang tidak disadari. Karena sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Aṭā’illah:
"إذا أراد الله أن يُظهر فضله عليك، خلق ونسب إليك ما ليس فيك."
“Apabila Allah ingin menampakkan karunia-Nya padamu, Dia akan menampakkan kebaikan yang sebenarnya bukan milikmu.”
Maka bersyukurlah dalam kefakiran, karena itu sering menjadi pintu kemuliaan.
Ghinā: Saat Allah Memberi untuk Diuji
Adapun ghinā (kelapangan atau kekayaan), bukan sekadar tentang banyaknya harta, tapi tentang lapangnya hati. Nabi ﷺ bersabda:
لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah karena banyaknya harta benda, tetapi kaya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka adab seorang ghani adalah menjaga agar hartanya tidak membuatnya lupa. Ia tidak merasa lebih tinggi dari yang fakir, sebab ia tahu kelapangan adalah ujian. Dalam kelapangan, setan sering datang dengan pakaian kebaikan: memuji amal, membisikkan rasa berjasa, dan menipu dengan kemewahan.
Seorang kaya yang beradab akan berkata: “Harta ini titipan, bukan kepemilikan.” Ia akan berbagi tanpa sombong, karena tahu bahwa tangan yang memberi pun sejatinya dipinjamkan oleh Allah. Maka ghinā yang beradab adalah ketika seseorang tetap tawadhu’, tetap khusyuk, dan tetap ringan tangan untuk membantu.
Dalam dunia Qur’anicpreneur, inilah yang harus menjadi ruh usaha. Keberhasilan dan keuntungan bukanlah tanda kemenangan duniawi, tetapi sarana untuk memperluas manfaat ukhrawi. Jika bisnis berkembang, jadikan itu jalan sedekah. Jika pasar tumbuh, jadikan ia ladang dakwah. Itulah ghinā yang tidak menipu, karena ia berakar dari ma’rifah — pengenalan kepada Allah sebagai Pemilik hakiki.
Pertemuan Fakir dan Kaya di Hadapan Allah
Akhirnya, baik fakir maupun kaya akan bertemu di satu titik: kerendahan di hadapan Allah. Fakir akan berkata, “Aku tidak punya apa-apa,” dan kaya akan berkata, “Aku tidak memiliki apa yang kumiliki.” Keduanya sama-sama sampai pada tauhid hakiki — bahwa tiada pemilik selain Dia.
Dalam pandangan para sufi, faqru dan ghinā hanyalah dua kendaraan menuju ma’rifah. Sebagian sampai melalui kefakiran yang mendidik kesabaran, sebagian melalui kelapangan yang melatih keikhlasan. Yang penting bukan kendaraan mana yang dipilih, tapi bagaimana engkau beradab di dalamnya.
Pelajaran untuk Santri dan Qur’anicpreneur
Dalam kehidupan pesantren, adabul faqri wal ghinā mengajarkan santri untuk tidak minder dalam kekurangan, dan tidak sombong dalam kelapangan. Dalam dunia Qur’anicpreneur, pelajaran ini menegaskan bahwa modal terbesar bukan uang, tapi keberkahan. Usaha yang dimulai dari niat yang lurus, meski kecil, lebih bernilai di sisi Allah daripada bisnis besar yang menipu nurani.
Allah tidak menilai seberapa banyak yang engkau punya, tapi seberapa benar hatimu ketika punya — atau tidak punya. Itulah inti dari adab sufi: dzikr dalam lapang, sabar dalam sempit, ridha dalam keduanya.
Di akhir perjalanan ruhani, seorang murid yang menempuh maqam qabḍ dan basṭ, lalu belajar faqru dan ghinā, akan sampai pada satu keadaan mulia — al-ridhā: ridha pada segala takdir Allah, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.
Karena di titik itu, ia tidak lagi sibuk dengan “mengapa aku sempit” atau “mengapa aku lapang”, tapi hanya sibuk bertanya: “Apakah Allah ridha kepadaku?”. Dan di situlah ketenangan sejati bersemayam.
Pesantren Raudhatul Irfan, 12 Oktober 2025
.png)
0 Komentar