Suka Duka Budidaya Bioflok di Pesantren Raudhatul Irfan: Dari Kerugian hingga Profit
Penulis: Irfan Soleh
Budidaya perikanan di Pesantren Raudhatul Irfan berawal dari semangat untuk menghadirkan unit usaha yang bisa menopang kemandirian pesantren. Pilihan jatuh pada sistem bioflok, sebuah metode modern yang memanfaatkan mikroorganisme untuk menjaga kualitas air sekaligus menghasilkan pakan alami bagi ikan. Namun, perjalanan ini tidak serta-merta mulus, justru penuh liku yang memberi banyak pelajaran berharga. Bagaimana Kisah dan apa pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan kami?
Pada tahap awal, pesantren mencoba ikan tambak. Harapannya sederhana: permintaan pasar tinggi dan ikan cepat tumbuh. Tetapi kenyataan berkata lain. Aerasi yang tidak optimal membuat oksigen terlarut dalam air cepat menurun, sehingga mikroba bioflok tidak berkembang baik, kualitas air memburuk, dan ikan pun sulit bertahan. Kerugian pun tak terhindarkan.
Tidak berhenti di situ, pesantren beralih ke ikan nila. Sayangnya, nasib serupa kembali menimpa. Kematian massal ikan terjadi saat listrik PLN padam. Sistem bioflok memang sangat bergantung pada aerasi yang stabil. Begitu aerator berhenti, oksigen di dalam kolam drop drastis, dan ikan kehabisan napas. Inilah duka yang paling pahit, karena dalam sekejap, ribuan ekor ikan mati.
Namun, dari kegagalan itulah muncul kesadaran baru: sistem bioflok tidak cukup hanya dengan kolam dan aerator seadanya, tetapi harus dikelola secara ilmiah. Pihak pesantren mulai membaca jurnal-jurnal ilmiah, berdiskusi dengan praktisi, dan melakukan perbaikan sistem. Akhirnya pilihan jatuh pada ikan gurame.
Kenapa gurame? Selain harga jualnya lebih tinggi, ikan ini relatif adaptif. Data dari beberapa penelitian mendukung pilihan ini. Misalnya, percobaan bioflok pada gurame menunjukkan nilai Feed Conversion Ratio (FCR) terbaik bisa mencapai 1,17 ± 0,01, artinya hanya butuh 1,17 kg pakan untuk menghasilkan 1 kg daging ikan. Bandingkan dengan sistem non-bioflok yang bisa mencapai FCR 1,9–2,1. Dengan kata lain, bioflok bisa menghemat pakan hingga hampir separuh biaya. Tidak hanya itu, efisiensi pakan pada perlakuan bioflok dilaporkan mencapai 85,8%, sedangkan pada sistem biasa jauh lebih rendah.
Selain hemat pakan, tingkat kelangsungan hidup (survival rate) gurame dalam bioflok juga tinggi. Banyak penelitian mencatat survival mencapai 90–100% bila manajemen air dan aerasi stabil. Faktor kunci lain adalah pengaturan rasio C:N (carbon to nitrogen). Dengan menambahkan sumber karbon seperti molase, mikroba dalam air akan menyerap nitrogen berlebih dari kotoran ikan, sehingga kualitas air tetap terjaga. Studi menunjukkan C:N sekitar 12–20 efektif untuk menjaga stabilitas bioflok, bahkan beberapa perlakuan menghasilkan mortalitas 0% dengan rasio tersebut.
Pengalaman pesantren akhirnya sejalan dengan data ini. Setelah aerasi diperkuat, sistem cadangan listrik disiapkan, dan pakan dikombinasikan dengan pengelolaan C:N yang tepat, budidaya gurame mulai panen dengan hasil memuaskan. Tidak hanya mampu menutup biaya operasional, tetapi juga menghasilkan profit yang bisa digunakan untuk menopang kegiatan pesantren.
Kini, suka duka budidaya bioflok di Pesantren Raudhatul Irfan menjadi kisah yang inspiratif. Duka karena kerugian akibat aerasi buruk dan mati listrik menjadi pelajaran berharga. Dan suka, karena setelah jatuh bangun, akhirnya pesantren menemukan formula keberhasilannya, meskipun tentu namanya juga bisnis ada naik turunnya tapi setidaknya kita bisa belajar dari suka duka perjalanan yang kemudian menjadi pengalaman yang sangat berharga
Ada tiga hal yang menjadi titik balik: Pertama, Tekun belajar dari kegagalan, tidak berhenti mencoba meski beberapa kali rugi. Kedua, Pemilihan komoditas yang tepat, gurame terbukti lebih adaptif dan menguntungkan. Ketiga, Manajemen ilmiah berbasis data, terutama menjaga aerasi, menyiapkan cadangan listrik, dan mengatur rasio C:N. Keempat, Pendampingan dari ahli dibidangnya
Perjalanan ini membuktikan satu hal: teknologi bioflok bukan sekadar soal alat, tetapi tentang kesabaran, ilmu, dan manajemen. Dengan itu, Pesantren Raudhatul Irfan berhasil menjadikan budidaya gurame bioflok sebagai sumber profit yang berkelanjutan, sekaligus sarana pendidikan kemandirian santri. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman yang sama-sama sedang berjuang untuk kemandirian pesantren
Kereta Agrowilis, 10 September 2025
0 Komentar