Sharia Economic Development Fund: Jalan Baru Wakaf Produktif

Penulis: Irfan Soleh


Wakaf selama ini sering dipahami sebagai ibadah sosial yang manfaatnya lebih banyak hadir dalam bentuk pembangunan masjid, madrasah, atau makam. Padahal, potensi wakaf sesungguhnya jauh lebih besar. Indonesia, yang dikenal sebagai negara paling dermawan menurut CAF World Giving Index 2024, sebenarnya menyimpan peluang besar untuk menjadikan wakaf sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional. Sayangnya, dari sisi realisasi, wakaf uang yang berhasil dihimpun masih relatif kecil, hanya sekitar 1,55 persen dari PDB. Kesenjangan inilah yang mendorong lahirnya gagasan baru, yakni pembentukan Sharia Economic Development Fund (SEDF) atau Lembaga Pembiayaan Pembangunan Berbasis Wakaf (LP2BW). Seperti apa model bisnis SEDF?


Keberadaan SEDF bukan sekadar wacana, melainkan diarahkan langsung oleh kebijakan negara. Dalam UUD 1945 pasal 34, negara berkewajiban memelihara fakir miskin dan anak terlantar, sementara dalam RPJMN 2025–2029, wakaf diposisikan sebagai salah satu instrumen utama keuangan sosial syariah yang menopang pembangunan. Bahkan, UU No. 59/2024 tentang RPJPN 2025–2045 serta Perpres No. 12/2025 secara eksplisit menugaskan pembentukan LP2BW sebagai special mission vehicle nasional yang berperan strategis dalam menghimpun, mengelola, dan menyalurkan dana wakaf produktif untuk pembangunan.


Model bisnis yang ditawarkan SEDF sangat menarik. Ia berfungsi bukan hanya sebagai lembaga penghimpun dana, tetapi juga menjalankan empat fungsi utama yaitu mengumpulkan sumber dana (pooling fund), menyalurkan pembiayaan (financing), menjadi perantara antara wakaf dan kebutuhan pembangunan (intermediary), serta memberikan penjaminan (assurance) bagi proyek yang dibiayai. Dengan cara ini, potensi wakaf tidak lagi terjebak pada proyek sosial yang bersifat konsumtif, melainkan mampu melahirkan manfaat berkelanjutan.


Rancangan pengelolaan SEDF juga dibagi ke dalam tiga lapisan. Tier pertama berupa pengelolaan wakaf abadi atau endowment yang menjadi modal dasar. Tier kedua berfokus pada investasi berkualitas tinggi yang berorientasi global, sementara tier ketiga diarahkan untuk pembiayaan dengan biaya rendah yang bisa menjangkau proyek UMKM atau sektor dengan risiko menengah-rendah. Dana yang terkumpul ini nantinya diinvestasikan ke instrumen negara seperti sukuk maupun proyek pembangunan yang selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).


Sejumlah studi ilmiah mendukung gagasan ini. Riset Hassan dan kawan-kawan (2021) yang dimuat dalam International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management menyebutkan bahwa wakaf produktif dapat menjadi sumber pembiayaan jangka panjang yang lebih stabil dibanding pinjaman konvensional. Di Indonesia sendiri, Bank Indonesia menegaskan bahwa instrumen wakaf bisa mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, sekaligus memperkuat kemandirian ekonomi nasional.


Lebih jauh, kehadiran LP2BW berpotensi memperluas inklusi keuangan syariah, memberikan akses pembiayaan kepada UMKM, dan mendorong pertumbuhan sektor riil. Dengan tata kelola yang transparan, SEDF dapat menjembatani semangat filantropi masyarakat dengan kebutuhan pembangunan, sehingga manfaat wakaf benar-benar dirasakan secara luas.

Inisiatif ini menandai transformasi besar cara pandang terhadap wakaf. Dari yang semula identik dengan amal ibadah statis, kini menjadi instrumen strategis pembangunan ekonomi. Jika berhasil diwujudkan, SEDF bukan hanya menjadi solusi pendanaan pembangunan nasional, tetapi juga simbol kemandirian ekonomi umat. Dan lebih jauh lagi, ia akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia, di mana nilai-nilai spiritual berpadu dengan visi besar kesejahteraan sosial. Semoga...Amin...


Bess Mansion Hotel Surabaya, 12 September 2025