Prinsip Entrepreneurship dari QS. Al-Muthaffifin Ayat 1–6

Penulis: Irfan Soleh


Al-Qur’an sering kali berbicara dengan bahasa kehidupan. Ia tidak hanya membimbing manusia dalam ibadah ritual, tetapi juga memberi pedoman dalam urusan yang sangat dekat dengan keseharian, termasuk soal perdagangan dan dunia usaha. Salah satu surah yang secara tegas menyinggung perilaku pedagang adalah Surah Al-Muthaffifin. Apa Konteks Historis Turunnya Surah Al-Muthaffifin? Prinsip Bisnis apa saja yang bisa diambil dari Ayat-Ayat Al-Muthaffifin? adakah Kisah Teladan yang berkaitan dengan kontek pelajaran dari ayat ini?


Kecelakaan besar, kata Allah, bagi orang-orang yang curang dalam timbangan dan takaran. Mereka ingin menerima dengan penuh jika membeli, tetapi ketika menjual mereka mengurangi. Ayat ini turun bukan sekadar untuk menegur pedagang kecil di pasar, tetapi untuk mengajarkan prinsip besar tentang etika bisnis yang relevan sepanjang zaman.


Para mufasir menyebutkan bahwa surah ini turun di Madinah. Saat itu, praktik kecurangan dalam takaran dan timbangan cukup marak di pasar-pasar Madinah. Banyak pedagang yang ketika membeli menuntut haknya penuh, tetapi ketika menjual mereka mengurangi sedikit demi sedikit. Kebiasaan ini dianggap wajar oleh sebagian orang, padahal jelas merugikan pembeli.


Surah Al-Muthaffifin datang untuk mengoreksi mentalitas itu. Allah menegur keras perilaku curang dan mengingatkan bahwa setiap butir timbangan akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat. Turunnya ayat ini membuat para pedagang di Madinah mulai berhati-hati, karena mereka sadar bahwa urusan bisnis bukan hanya soal keuntungan dunia, tetapi juga terkait dengan hisab di akhirat.


Konteks historis ini menunjukkan betapa Islam sangat serius menjaga keadilan ekonomi sejak awal. Pasar Madinah tidak hanya diatur oleh hukum positif, tetapi juga oleh moralitas ilahi. Dari sini lahirlah tradisi bisnis yang sehat, di mana para pedagang bukan hanya mencari untung, tetapi juga menjaga keberkahan dan ridha Allah.


Dalam dunia entrepreneurship, pesan ayat ini sangat jelas: bisnis tidak bisa dilepaskan dari kejujuran. Trust atau kepercayaan adalah modal utama seorang entrepreneur. Begitu seorang pedagang atau pengusaha terjebak dalam praktik curang, maka ia sedang merusak kepercayaan yang sudah susah payah dibangun. Mungkin keuntungan cepat bisa diperoleh, tetapi reputasi yang hilang akan sangat sulit dikembalikan.


Lebih jauh lagi, ayat ini menekankan pentingnya keadilan dalam setiap transaksi. Tidak boleh ada standar ganda—ingin mendapat lebih ketika menjadi pembeli, tetapi memberi kurang ketika menjadi penjual. Dunia usaha seharusnya berjalan di atas prinsip fairness, keadilan yang membuat semua pihak merasa diuntungkan. Seorang entrepreneur sejati tidak hanya memikirkan untung rugi pribadi, tetapi juga bagaimana bisnisnya membawa manfaat bagi konsumen, mitra, bahkan karyawan yang terlibat di dalamnya.


Lalu, Allah mengingatkan bahwa semua perbuatan ini akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara entrepreneurship Islami dengan pola bisnis sekuler. Bagi seorang Muslim, bisnis bukan sekadar urusan dunia, melainkan juga bagian dari ibadah. Setiap transaksi adalah amanah yang kelak akan ditimbang, bukan hanya dengan neraca dunia, tetapi juga dengan neraca akhirat.


Dari sini kita belajar bahwa keberkahan jauh lebih penting daripada sekadar keuntungan. Kecurangan mungkin terlihat menguntungkan sesaat, tetapi cepat atau lambat akan membawa kerugian besar—entah hilangnya pelanggan, rusaknya nama baik, atau bahkan kehancuran usaha. Sebaliknya, kejujuran dan amanah, meskipun terkadang terasa lambat dalam mendatangkan profit, akan menghadirkan keberlanjutan, ketenangan hati, dan doa kebaikan dari banyak orang.


Nilai-nilai inilah yang membuat brand seorang entrepreneur Muslim seharusnya tidak hanya dikenal karena kualitas produknya, tetapi juga karena integritasnya. Ketika integritas menjadi identitas, maka bisnis tidak hanya berkembang, tetapi juga membawa maslahat bagi banyak orang.


Salah satu teladan nyata dari nilai-nilai Al-Muthaffifin tercermin dalam sosok Rasulullah SAW sendiri. Sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, Muhammad dikenal di Makkah dengan gelar Al-Amîn—orang yang terpercaya. Julukan itu bukan datang begitu saja, melainkan karena perilaku beliau yang jujur, adil, dan amanah dalam berdagang. Ketika membawa barang dagangan milik Khadijah, beliau menjualnya dengan penuh kejujuran tanpa sedikit pun mengurangi timbangan atau menipu pembeli.


Kejujuran inilah yang membuat keuntungannya selalu berlipat, bahkan jauh melebihi pedagang lain. Pembeli merasa puas, pemilik modal merasa aman, dan mitra bisnis merasa dihargai. Dari sinilah kita melihat bahwa keberhasilan bisnis Rasulullah bukan sekadar karena strategi dagang, tetapi karena integritas yang dijunjung tinggi.


Kisah serupa juga terlihat pada generasi sahabat. Umar bin Khattab r.a. pernah berkeliling pasar untuk mengingatkan para pedagang agar tidak curang. Bahkan, beliau tidak segan-segan menegur keras orang yang berusaha mencampur makanan bagus dengan yang buruk lalu menjualnya seolah-olah sama kualitasnya. Baginya, kecurangan sekecil apa pun adalah pengkhianatan terhadap amanah.


Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa prinsip entrepreneurship Islami yang diajarkan Al-Qur’an bukanlah teori kosong, melainkan telah dipraktikkan secara nyata oleh generasi terbaik umat ini.


Dengan demikian, Surah Al-Muthaffifin ayat 1–6 bukan sekadar teguran bagi pedagang curang di pasar Madinah tempo dulu. Ia adalah pesan abadi untuk setiap entrepreneur di setiap zaman: jadikan kejujuran sebagai fondasi, keadilan sebagai prinsip, dan orientasi akhirat sebagai arah. Maka bisnis yang dijalankan bukan hanya menghasilkan keuntungan, tetapi juga keberkahan yang mengalir hingga hari ketika semua manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam. Semoga...Amin...


Pesantren Raudhatul Irfan Ciamis, 8 September 2025