Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia: Antara Harapan dan Tantangan
Penulis: Irfan Soleh
Perjalanan literasi dan inklusi keuangan syariah di Indonesia bisa diibaratkan sebagai cerita tentang kemajuan yang pesat di satu sisi, namun juga menghadapi tantangan yang tidak ringan di sisi lain. Bagaimana sebenarnya perkembangan literasi keuangan syariah dari tahun ke tahun? Apakah peningkatan pemahaman masyarakat otomatis diikuti dengan pemanfaatan produk keuangan syariah? Lalu, apa kaitannya antara literasi keuangan dengan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai studi internasional? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci untuk memahami kondisi terkini sekaligus arah masa depan keuangan syariah di Indonesia.
Jika pada 2019 tingkat literasi keuangan syariah baru berada di angka 8,93%, maka pada 2025 melonjak menjadi 43,42%. Pertumbuhan ini sangat signifikan, bahkan gap dengan literasi keuangan nasional yang tadinya 29,1% kini menyempit menjadi sekitar 23,04%. Fakta ini menandakan bahwa semakin banyak masyarakat yang mengenal, memahami, dan mulai terbuka terhadap sistem keuangan berbasis syariah. Sosialisasi, edukasi publik, serta meningkatnya kehadiran produk syariah di perbankan maupun pasar modal jelas memberi dampak positif.
Namun, cerita berbeda muncul ketika kita menengok angka inklusi keuangan syariah. Meskipun literasi meningkat tajam, pemanfaatan nyata produk syariah oleh masyarakat masih tertinggal jauh. Pada 2019 inklusi syariah tercatat 9,1%, sedangkan inklusi nasional mencapai 76,19%. Hingga 2025, inklusi syariah baru naik tipis menjadi 13,41%, sementara inklusi nasional sudah berada di 80,51%. Artinya, gap sebesar lebih dari 67% masih menganga lebar.
Mengapa hal ini terjadi? Beberapa alasan dapat ditelusuri. Pertama, produk keuangan syariah masih belum menjadi pilihan utama bagi masyarakat. Banyak orang masih menilai produk konvensional lebih praktis dan lebih beragam. Kedua, akses layanan syariah belum merata, terutama di daerah pedesaan yang belum banyak memiliki cabang bank syariah atau layanan digital yang mumpuni. Ketiga, inovasi produk syariah masih dinilai terbatas, sehingga tidak selalu sesuai dengan kebutuhan spesifik masyarakat, misalnya untuk pembiayaan usaha mikro atau layanan fintech yang serba cepat.
Padahal, literasi keuangan yang lebih baik terbukti berhubungan erat dengan tingkat kesejahteraan. OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam beberapa laporannya menegaskan bahwa individu yang memiliki literasi keuangan tinggi cenderung lebih mampu mengelola keuangan, menabung lebih banyak, serta terlindungi dari risiko keuangan. OECD/INFE pada 2020 bahkan mencatat bahwa peningkatan literasi keuangan sebesar 10% dapat meningkatkan tabungan rumah tangga hingga 3–4% dan mengurangi potensi terjebak dalam utang konsumtif.
Jika temuan ini dikaitkan dengan konteks Indonesia, maka peningkatan literasi keuangan syariah semestinya bisa membawa dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Muslim. Pemahaman yang lebih baik tentang akad-akad syariah seperti murabahah, mudharabah, atau wakalah akan membuat masyarakat lebih bijak dalam memilih produk, sekaligus terhindar dari praktik riba yang justru bisa merugikan.
Potensi Indonesia sendiri sangat besar. Aset perbankan syariah terus tumbuh rata-rata 12–15% per tahun dalam lima tahun terakhir, pasar modal syariah Indonesia bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia dari sisi jumlah saham syariah, dan dukungan regulasi pun semakin kuat. Namun, kontribusi industri keuangan syariah terhadap total keuangan nasional masih berkisar 10%, jauh dari potensi idealnya.
Di sinilah pentingnya mengonversi peningkatan literasi menjadi peningkatan inklusi. Strateginya tentu bukan sekadar menambah edukasi, tetapi juga memperkuat inovasi produk, memperluas jaringan distribusi, serta mempercepat digitalisasi layanan agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.
Dengan langkah-langkah tersebut, bukan hanya industri keuangan syariah yang akan tumbuh, tetapi juga kesejahteraan masyarakat Indonesia akan meningkat. Karena pada akhirnya, literasi keuangan yang kuat—terutama literasi keuangan syariah—bukan sekadar pengetahuan, melainkan jalan menuju financial well-being yang lebih adil, berkelanjutan, dan penuh keberkahan.
Hotel Bess Mansion Surabaya, 11 September 2025
0 Komentar