Konsep Ma‘īsyah dalam Al-Qur’an dan Hubungannya dengan QS. An-Naba’ Ayat 11
Penulis: Irfan Soleh
Apakah Al-Qur’an hanya berbicara tentang ibadah ritual, atau juga memberi arahan bagi kehidupan ekonomi manusia? Pertanyaan ini penting, sebab sering kali kita memandang Al-Qur’an hanya dari sisi spiritual, padahal di dalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar yang membimbing aktivitas sehari-hari, termasuk usaha dan entrepreneurship. Salah satu konsep kunci yang berhubungan dengan ekonomi dan penghidupan manusia adalah istilah ma‘īsyah atau ma‘āsy. Artikel ini akan membahas bagaimana QS Al-A‘rāf 10, Al-Ḥijr 20, Thāhā 124, dan QS An-Naba’ 11 membentuk kerangka konsep Maisyah menurut al Quran
Dalam beberapa ayat, Allah menyebut kata ma‘īsyah atau bentuk jamaknya ma‘āyish untuk menjelaskan bahwa bumi dan segala isinya disediakan sebagai sarana hidup bagi manusia. QS. Al-A‘rāf ayat 10 menegaskan: “Sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan Kami jadikan untukmu di bumi itu penghidupan (ma‘āyish), tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” Pesan ini selaras dengan QS. Al-Ḥijr ayat 20 yang menyebutkan bahwa Allah menjadikan berbagai sarana kehidupan di bumi, termasuk makhluk-makhluk lain yang menjadi bagian dari ekosistem kehidupan manusia.
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa potensi ekonomi pada hakikatnya telah tersedia. Tanah yang subur, air, hasil pertanian, dan hewan ternak adalah modal dasar yang harus dikelola manusia. Dengan kata lain, Al-Qur’an sejak awal sudah mengajarkan prinsip pemanfaatan sumber daya (resource management) sebagai fondasi entrepreneurship.
Namun, potensi sumber daya alam tidak selalu menjamin kehidupan yang lapang. QS. Thāhā ayat 124 memberikan peringatan keras: “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, baginya penghidupan (ma‘īsyah) yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Ayat ini memperlihatkan bahwa keberkahan rezeki tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan sumber daya, tetapi juga oleh orientasi spiritual manusia.
Seorang entrepreneur Muslim tidak hanya dituntut untuk cerdas mengelola peluang usaha, tetapi juga untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas bisnisnya berlandaskan iman, nilai halal, dan kebermanfaatan. Tanpa itu, rezeki yang melimpah sekalipun bisa berubah menjadi sempit, tidak berkah, atau justru menjerumuskan.
Puncak operasional konsep ma‘īsyah ada dalam QS. An-Naba’ ayat 11: “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan (ma‘āsy).” Ayat ini sederhana, tetapi sarat makna. Siang hari dalam pandangan Qur’ani bukan hanya fenomena alam, tetapi sebuah tanda produktivitas. Ia adalah momentum untuk bekerja, berusaha, dan mengelola sumber daya yang telah Allah sediakan.
Menurut tafsir Ibn Katsir, malam dijadikan untuk istirahat, sementara siang diperuntukkan bagi aktivitas lahiriah manusia. Ini menegaskan pentingnya manajemen waktu dalam entrepreneurship: ada saatnya bekerja keras, ada pula saatnya beristirahat untuk menjaga keberlanjutan energi. Prinsip ini sejalan dengan teori manajemen modern yang menekankan produktivitas berbasis efisiensi waktu.
Jika disusun dalam alur, ayat-ayat tentang ma‘īsyah membentuk kerangka pemikiran yang utuh: Pertama, Allah menyediakan resources – bumi dengan segala potensi ekonominya (Al-A‘rāf 10, Al-Ḥijr 20). Kedua, Allah memberi aturan etika – rezeki bisa sempit tanpa iman dan ketaatan (Thāhā 124). Ketiga, Allah menetapkan waktu produktif – siang hari untuk berusaha (An-Naba’ 11). Manusia membangun entrepreneurship Qur’ani – usaha yang produktif, beretika, memanfaatkan sumber daya, dan berorientasi maslahat.
Kerangka ini menunjukkan bahwa entrepreneurship dalam Islam bukanlah aktivitas bebas nilai, tetapi sebuah sistem yang menggabungkan pengelolaan sumber daya, manajemen waktu, etika spiritual, dan tujuan kesejahteraan.
Entrepreneurship Qur’ani: Dari Ma‘īsyah Menuju Falah
Dengan memahami konsep ma‘īsyah dalam Al-Qur’an, kita menyadari bahwa entrepreneurship bukan hanya aktivitas ekonomi, melainkan sarana menuju falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Usaha yang dilandasi iman, dilakukan dengan disiplin waktu, dan memanfaatkan sumber daya secara halal akan membawa kehidupan yang lapang, berkah, dan bermanfaat bagi orang lain.
QS. An-Naba’ ayat 11 menjadi kunci penting dalam kerangka ini. Ia menekankan bahwa manusia harus bergerak, bekerja, dan memanfaatkan siang hari sebagai momentum produktif. Dengan demikian, entrepreneurship dalam perspektif Qur’ani adalah bagian dari ibadah, karena di dalamnya terkandung rasa syukur, pengelolaan amanah Allah, dan kontribusi nyata bagi kesejahteraan umat.
Pesantren Raudhatul Irfan, Senin16 September 2025
0 Komentar