Kisah Nabi Musa dan Dua Putri Nabi Syuaib

(Pelajaran Entrepreneurship dari QS Al-Qashash ayat 23-26)

Penulis: Irfan Soleh


Seperti biasanya setiap ba’da magrib di Pesantren Raudhatul Irfan, lantunan ayat-ayat suci dibacakan sebelum tafsir dimulai. Malam ini kita sampai pada kisah Nabi Musa ‘alaihissalām yang Allah abadikan dalam QS. Al-Qashash ayat 23–26, yang berada di Juz 20. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi sarat nilai kehidupan, termasuk nilai entrepreneurship yang bisa membentuk karakter santri agar siap menghadapi tantangan zaman. Pertanyaan yang muncul untuk kita renungkan adalah: bagaimana kisah Nabi Musa bertemu dua putri Syu‘aib di sumber air Madyan mengajarkan prinsip wirausaha yang bermoral, berdaya saing, dan berorientasi pada keberkahan?


Allah berfirman dalam QS. Al-Qashash ayat 23:


وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِۦٓ أُمَّةً مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِى حَتَّىٰ يُصْدِرَ ٱلرِّعَآءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ


Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menahan (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua perempuan itu menjawab: “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami) sebelum para penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami adalah seorang yang telah lanjut usianya.”


Ayat ini menggambarkan sebuah pasar tenaga kerja yang penuh persaingan. Ada sekumpulan laki-laki yang lebih kuat secara fisik, berebut sumber daya. Namun dua perempuan itu menahan diri, memilih menunggu giliran. Mereka tidak menyerobot, tapi tetap ingin berusaha. Inilah prinsip entrepreneurship yang berbasis etika: bekerja keras tapi tetap menjaga kehormatan dan adab.


Musa kemudian tampil dengan sikap proaktif. Allah berfirman:


فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّى لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ


Maka Musa memberi minum ternak kedua perempuan itu, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”


Di sini, Musa menunjukkan karakter entrepreneur sejati: solutif, cepat bertindak, dan tidak menunggu diminta. Ia membantu dengan ikhlas tanpa menuntut imbalan. Namun setelah berikhtiar, ia tidak lupa berdoa, menyadari bahwa rezeki sejati datang dari Allah. Entrepreneur Qur’ani bukan sekadar mencari keuntungan, tapi sadar bahwa hasil usaha adalah anugerah Tuhan.


Lalu datanglah balasan dari arah yang tak disangka.


فَجَآءَتْهُ إِحْدَىٰهُمَا تَمْشِى عَلَى ٱسْتِحْيَآءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِى يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا ۚ فَلَمَّا جَآءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ ٱلْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ ۖ نَجَوْتَ مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ


Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatanginya dan menceritakan kepadanya cerita (tentang dirinya), Syu‘aib berkata: “Janganlah kamu takut, kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.”


Di sini kita belajar bahwa kejujuran membuka jalan rezeki. Musa tidak menyembunyikan identitasnya, ia menceritakan kisah hidupnya apa adanya. Kejujuran adalah modal utama dalam entrepreneurship. Kepercayaan (trust) lahir dari sikap terbuka dan amanah.


Dan akhirnya datanglah puncak pelajaran entrepreneurship dalam ayat 26:


قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ


Salah seorang dari kedua perempuan itu berkata: “Wahai ayahku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”


Dari kalimat ini lahirlah prinsip klasik dalam dunia bisnis: kriteria ideal seorang pekerja, mitra, atau pemimpin adalah qawiyyun amīn – kuat dan terpercaya. Kekuatan melambangkan kompetensi, keterampilan, dan kapasitas kerja. Amanah melambangkan integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. Seorang entrepreneur Qur’ani harus memadukan keduanya: profesional dalam kinerja, sekaligus bermoral dalam akhlak.


Kisah ini memberi inspirasi bahwa entrepreneurship dalam pandangan Al-Qur’an bukan sekadar bicara untung dan rugi, tetapi tentang membangun ekosistem bisnis yang beretika, berbasis tolong-menolong, jujur dalam transaksi, dan menjaga kepercayaan. Nabi Musa, dua putri Syu‘aib, dan Nabi Syu‘aib sendiri menunjukkan satu ekosistem usaha yang adil, amanah, dan penuh keberkahan.


Pengajian Tafsir Rutin Ba’da Magrib

Pesantren Raudhatul Irfan – Edisi 24 September 2025