Kejujuran, Etika, dan Keberkahan: Tafsir Kisah Nabi Syuaib dalam Al-Qur’an
Penulis: Irfan Soleh
Malam ini kita melanjutkan pengajian tafsir rutin di Pesantren Raudhatul Irfan. Pembahasan kita memasuki kisah seorang nabi yang tidak hanya dikenal sebagai pendakwah tauhid, tetapi juga sebagai pengingat keras akan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam ekonomi. Beliau adalah Nabi Syuaib ‘alaihissalam. Pertanyaannya, apa saja pelanggaran yang dilakukan oleh kaum Madyan, dan bagaimana pelajaran penting yang bisa kita ambil untuk membangun etika usaha yang Qur’ani hari ini?
Allah berfirman dalam Surat Hud ayat 84–86:
“Dan (Kami telah mengutus) kepada (penduduk) Madyan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sungguh, aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur), dan sungguh aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang meliputi (semua orang).’”
(QS. Hud: 84)
“Dan wahai kaumku! Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-haknya dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
(QS. Hud: 85)
“Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang beriman. Dan aku bukanlah penjaga atas dirimu.”
(QS. Hud: 86)
Isi dan Makna Ayat
Ayat-ayat ini menggambarkan peringatan keras Nabi Syuaib kepada kaumnya, yaitu kaum Madyan. Mereka hidup di wilayah yang makmur, berada di jalur perdagangan yang ramai, tetapi melakukan kecurangan dalam transaksi ekonomi, terutama dalam timbangan dan takaran. Mereka juga menyebabkan kerusakan sosial dan moral dengan sistem ekonomi yang zalim.
Nabi Syuaib mengingatkan mereka agar kembali kepada tauhid, dan menjadikan iman sebagai dasar perilaku ekonomi. Beliau menasihati mereka untuk:
• Tidak mengurangi takaran dan timbangan.
• Tidak merugikan hak orang lain.
• Tidak membuat kerusakan (eksploitasi, penipuan, dan ketidakadilan sosial).
Nabi Syuaib juga menekankan bahwa keuntungan kecil yang halal dan diberkahi (baqiyyatullah) lebih baik daripada keuntungan besar yang dicapai dengan cara haram. Ini adalah prinsip ekonomi Qur’ani: berkah lebih utama daripada banyak.
Pesan Quranicpreneur dari Kisah Nabi Syuaib
Dari kisah ini, kita mendapatkan pelajaran penting yang bisa kita aplikasikan dalam membangun ekonomi umat yang jujur, mandiri, dan diridai Allah. Inilah pesan-pesan Quranicpreneur dari Nabi Syuaib:
1. Etika dan Kejujuran adalah Fondasi Ekonomi Islami
Nabi Syuaib bukan hanya mengajarkan tauhid, tetapi juga etika bisnis. Ia menjadi simbol integritas dalam dunia usaha. Dalam praktik bisnis modern, hal ini bisa kita terapkan melalui transparansi harga, kejujuran dalam kualitas produk, serta adil dalam perjanjian.
Prinsip ini sangat relevan dalam pengembangan usaha pesantren seperti koperasi, toko santri, atau unit usaha mandiri. Kepercayaan masyarakat akan tumbuh jika etika dijunjung tinggi.
2. Jangan Gantungkan Keberhasilan pada Keuntungan Duniawi Semata
“Baqiyyatullah khayrul lakum” — keuntungan yang tersisa dari Allah lebih baik. Ayat ini menyadarkan kita bahwa tidak semua keuntungan itu baik. Ada yang merusak, menzalimi, dan menjerumuskan. Dalam konsep Quranicpreneur, keberhasilan diukur dari manfaat, keberkahan, dan keberlanjutan, bukan semata angka.
Sebagai pelaku usaha pesantren, penting untuk menanamkan bahwa barakah lebih baik dari laba besar tapi haram.
3. Ekonomi yang Zalim akan Menghancurkan Masyarakat
Kaum Madyan akhirnya dibinasakan karena menolak perbaikan dan terus melakukan kecurangan. Ini adalah peringatan bagi masyarakat yang mengabaikan keadilan sosial dan kesenjangan ekonomi.
Hari ini, banyak sistem ekonomi modern yang mengejar profit tapi merusak lingkungan, memperlebar kesenjangan, dan menekan kaum lemah. Quranicpreneur hadir sebagai solusi: ekonomi yang berbasis keadilan, keberlanjutan, dan keimanan.
Pelajaran untuk Ekonomi Pesantren
Jama’ah yang dimuliakan Allah, pelajaran dari Nabi Syuaib sangat relevan untuk ekonomi pesantren kita hari ini. Beberapa aplikasinya:
• Koperasi dan unit usaha pesantren harus dibangun dengan prinsip kejujuran dan keberkahan, bukan sekadar mengejar keuntungan cepat.
• Santri dan alumni pesantren perlu dibekali dengan ilmu entrepreneurship yang Qur’ani: yang adil, jujur, dan memberi manfaat.
• Kemandirian ekonomi pesantren adalah bentuk nyata dari amal saleh dan rasa syukur. Kita tidak hanya mengaji, tetapi juga bekerja, berdaya, dan memberi kontribusi kepada umat.
Penutup: Menjadi Quranicpreneur Sejati
Kisah Nabi Syuaib mengajarkan bahwa seorang mukmin sejati bukan hanya rajin ibadah, tetapi juga jujur dalam berdagang, adil dalam bekerja, dan amanah dalam mengelola harta. Quranicpreneur bukan hanya tentang bisnis Islami, tapi tentang cara hidup Islami dalam seluruh aktivitas ekonomi.
Semoga kita bisa membangun ekonomi pesantren yang jujur, produktif, mandiri, dan diridai Allah, serta menjadi bagian dari generasi Quranicpreneur yang membumikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam dunia usaha.
Pesantren Raudhatul Irfan, 30 September 2025
0 Komentar