Dzikir, Keterampilan, dan Syukur: Tafsir Kisah Nabi Dawud dalam Al-Qur’an
Penulis: Irfan Soleh
Malam ini kita melanjutkan pengajian tafsir Qur’an rutin di Pesantren Raudhatul Irfan. Pembahasan kita masuk kepada kisah seorang nabi yang terkenal dengan suaranya yang merdu, hatinya yang lembut, sekaligus tangannya yang kuat dalam bekerja. Beliau adalah Nabi Dawud ‘alaihissalam. Pertanyaannya, apa saja keistimewaan yang Allah berikan kepadanya, dan bagaimana pelajaran yang bisa kita ambil untuk kehidupan kita hari ini?
Allah berfirman dalam surat Saba’ ayat 10–11:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوُۤدَ مِنَّا فَضْلًا ۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَ ۚ وَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَ ۖ (١٠) اَنِ اعْمَلْ سَابِغٰتٍ وَّقَدِّرْ فِى السَّرْدِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا ۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (١١)
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah menganugerahkan karunia kepada Dawud dari Kami. (Kami berfirman), ‘Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersamanya.’ Dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Kami perintahkan), ‘Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya, dan kerjakanlah amal saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.’”
Ayat ini menceritakan tiga karunia besar Allah kepada Nabi Dawud. Pertama, suara yang begitu merdu, sampai-sampai gunung-gunung dan burung-burung ikut bertasbih bersamanya. Kedua, Allah memberikan mukjizat melunakkan besi dengan tangannya, tanpa api, sehingga bisa dibentuk menjadi alat yang bermanfaat. Ketiga, Allah mengajarinya untuk membuat baju zirah sebagai perlindungan umatnya dalam peperangan.
Hal ini dipertegas dalam surat Al-Anbiya ayat 80:
وَعَلَّمْنٰهُ صَنْعَةَ لَبُوْسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِّنْۢ بَأْسِكُمْ ۗ فَهَلْ اَنْتُمْ شٰكِرُوْنَ (٨٠)
Artinya: “Dan Kami telah mengajarkan kepadanya (Dawud) cara membuat baju besi untuk kamu guna melindungimu dalam peperanganmu. Maka apakah kamu bersyukur?”
Jama’ah yang dimuliakan Allah, dari dua ayat ini kita belajar beberapa hal penting. Nabi Dawud bukan hanya seorang ahli ibadah, tetapi juga seorang pekerja keras. Beliau bertasbih kepada Allah dengan penuh kekhusyukan, dan alam ikut merespons dzikirnya. Inilah kemurnian hati seorang nabi. Tetapi beliau tidak hanya sibuk dengan ibadah ritual. Allah mengajarkan kepadanya ilmu teknologi pada zamannya, yaitu pembuatan baju besi. Dari sinilah kita paham bahwa seorang hamba Allah harus seimbang: ibadahnya kuat, keterampilan dan kerjanya juga nyata.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa sebaik-baik makanan adalah dari hasil kerja tangan sendiri, dan Nabi Dawud makan dari hasil kerja tangannya. Artinya, beliau tidak bergantung pada orang lain, meskipun seorang raja sekaligus nabi. Kemandirian inilah yang menjadi teladan besar bagi umat Islam.
Pesan Quranicpreneur dari Kisah Nabi Dawud
Dari kisah ini, ada beberapa pesan yang bisa kita ambil untuk membangun kemandirian umat, khususnya dalam bingkai Quranicpreneur.
Pertama, ilmu dan keterampilan adalah modal besar untuk membangun ekonomi umat. Nabi Dawud tidak diberi harta melimpah seperti Nabi Sulaiman, tetapi diberi keterampilan olah besi. Inilah pesan penting: modal utama bukan uang, melainkan ilmu, keterampilan, dan kerja keras.
Kedua, usaha harus dibarengi dengan nilai ibadah. Nabi Dawud membuat baju besi bukan sekadar untuk bisnis, tetapi sebagai amal saleh, melindungi umat dari bahaya, dan menjaga kehormatan mereka. Begitu juga usaha kita hari ini, entah di minimarket pesantren, koperasi, atau perdagangan, harus diniatkan untuk maslahat umat.
Ketiga, kemandirian ekonomi adalah bentuk syukur. Allah bertanya dalam ayat-Nya: “Apakah kamu bersyukur?” Syukur itu bukan hanya ucapan, tetapi bekerja, berusaha, dan tidak bergantung kepada selain Allah. Inilah yang harus ditanamkan dalam ekonomi pesantren: mandiri, produktif, dan berdaya guna bagi masyarakat.
Jama’ah sekalian, kisah Nabi Dawud mengingatkan kita bahwa seorang hamba Allah tidak boleh malas. Dzikirnya harus hidup, keterampilannya harus berkembang, usahanya harus bermanfaat, dan syukurnya harus nyata. Semoga pesan Quranicpreneur dari Nabi Dawud ini menjadi inspirasi bagi kita untuk membangun ekonomi pesantren yang kuat, mandiri, dan diridai Allah Ta’ala.
Pesantren Raudhatul Irfan, 29 September 2025
0 Komentar