Da’i sebagai Jembatan Umat Menuju Ekonomi Syariah
Penulis: Irfan Soleh
Kegiatan Training of Trainer Da'i Da'iyah 2025 yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia di Surabaya pada Tanggal 11-12 September 2025 menghadirkan berbagai pembicara, salah satunya adalah KH Cholil Nafis yang membahas tentang Ekonomi syariah yang kini bukan lagi wacana pinggiran. Laporan State of the Global Islamic Economy 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia, menunjukkan betapa pesatnya perkembangan sektor halal dan keuangan syariah. Dari industri makanan halal, pariwisata, hingga fintech syariah, semuanya tumbuh dengan cepat. Bagaimana Peran kita sebagai Da'i dalam memasyarakatkan Ekonomi Syari'ah?
Kontribusi rantai nilai halal terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia pada tahun 2024 sudah mencapai 25,45%. Ekspor produk halal pun menembus angka USD 51,4 miliar, sementara wakaf uang tumbuh hingga 268% sejak diluncurkannya Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Dana zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lain pun meningkat 27% sepanjang 2024. Semua data ini mengisyaratkan satu hal: ekonomi syariah adalah peluang besar bagi umat Islam Indonesia. Namun, peluang itu tidak akan bermakna jika tidak disertai kesadaran, perubahan pola pikir, dan budaya kerja yang sesuai dengan nilai Islam. Di sinilah peran da’i menjadi begitu penting.
KH Kholil Nafis dalam acara ToT Ekonomi Syariah Da’i dan Da’iyah 2025 di Surabaya menekankan bahwa sebagian umat Islam Indonesia masih terjebak dalam apa yang disebut sebagai “budaya kemiskinan.” Ada anggapan pasrah bahwa kemiskinan adalah takdir, ada pula kebiasaan untuk bersikap santai tanpa perencanaan. Kedisiplinan sering dianggap tidak penting, padahal bangsa lain seperti Jepang dan Korea menunjukkan bahwa kemajuan mereka dibangun dari kerja keras, budaya disiplin, serta ketekunan sejak hal-hal kecil.
Islam sendiri sebenarnya menolak budaya pasrah semacam itu. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, dengan amanah untuk mengelola, bukan menyerah pada keadaan. Rasulullah SAW membangun pasar Madinah sebagai contoh bagaimana ekonomi harus berlandaskan keadilan, kejujuran, dan keterlibatan semua orang. Prinsip-prinsip ekonomi syariah juga jelas: kepemilikan harta hanyalah titipan Allah, distribusi harus menjamin kebutuhan semua warga, dan harta harus diproduktifkan melalui nafkah, infaq, dan investasi halal.
Di titik inilah, peran da’i menjadi strategis. Seorang da’i bukan sekadar penceramah di mimbar, melainkan opinion leader yang memengaruhi arah berpikir jamaah. Ia juga berfungsi sebagai culture broker yang menjembatani nilai agama dengan budaya lokal, sekaligus intermediary force yang menyeleksi nilai-nilai mana yang harus diperkuat untuk memberdayakan umat.
Peran ini bisa sangat praktis. Dalam khutbah Jumat, da’i bisa mengingatkan jamaah agar tidak menimbun harta tanpa manfaat, melainkan menginvestasikannya pada usaha halal yang bermanfaat. Dalam pengajian rutin, da’i bisa memperkenalkan konsep wakaf produktif atau koperasi syariah berbasis jamaah. Bahkan, da’i juga bisa menjadi teladan dengan menunjukkan gaya hidup sederhana tetapi produktif, serta mengelola program ekonomi kerakyatan bersama jamaahnya.
Seperti ditulis Muhammad Syafi’i Antonio (2001), keberhasilan ekonomi syariah di Indonesia sangat ditentukan oleh peran tokoh agama. Mereka adalah pintu masuk utama bagi umat untuk memahami nilai-nilai syariah dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa perubahan budaya ekonomi sering dimulai dari pendekatan dakwah yang transformasional—mengubah teologi fatalistik menjadi teologi produktif (Hafidhuddin, 2006).
Dengan demikian, da’i bukan hanya penyampai pesan spiritual, tetapi juga agen perubahan sosial. Ia bisa menjadi uswah (teladan) yang sederhana dan solutif, muballigh yang tidak hanya berdakwah tetapi juga mengelola usaha umat, serta problem solver yang menuntun masyarakat keluar dari jebakan budaya kemiskinan menuju etos kerja yang islami.
Peran besar ini semakin relevan ketika melihat potensi ekonomi syariah yang terus tumbuh. Jika para da’i mampu menggerakkan jamaah untuk terlibat aktif—dari zakat hingga investasi halal, dari koperasi masjid hingga fintech syariah—maka ekonomi syariah bukan hanya alternatif, melainkan arus utama. Inilah jalan menuju masyarakat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur: negeri yang sejahtera lahir batin, dengan limpahan rahmat dari Allah SWT.
Hotel Bess Mansion Surabaya, 11 September 2025
0 Komentar