Tertipu dalam Kesedihan: Menyingkap Makna Hikmah Ibnu 'Athoillah
Penulis: Irfan Soleh
Dalam kitab al-Ḥikam, Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari menyingkap rahasia perjalanan ruhani seorang hamba menuju Allah. Salah satu hikmahnya mengingatkan kita akan tipu daya halus yang sering luput disadari oleh para penempuh jalan spiritual (sālik) yaitu "Sedih karena kehilangan kesempatan berbuat ketaatan, namun tidak disertai upaya untuk bangkit mengerjakannya, merupakan salah satu tanda ketertipuan." Hikmah ini menegur kondisi batin yang tampaknya luhur, yaitu merasa sedih karena luput dari amal shalih, namun sejatinya mengandung kelalaian yang menipu, yaitu tidak adanya kesungguhan untuk memperbaiki keadaan. Bagaimana seharusnya ketika kita merasa sedih karna meninggalkan ketaatan? bisakah kita keluar dari golongan orang-orang yang tertipu? apa yang harus kita lakukan? Artikel ini merupakan catatan dari hasil pengajian Kitab Hikam setiap malam jum’at di Pesantren Raudhatul Irfan
Ibnu ‘Ajibah dalam Kitab Iqodzul Himam menyebutkan bahwa kesedihan yang tidak membuahkan amal adalah bentuk “huzn maghrūr” (kesedihan orang yang tertipu). Ia berkata: "Kesedihan yang tidak mendorong seseorang untuk memperbaiki amal hanyalah bentuk kelemahan jiwa yang diperindah oleh hawa nafsu." Dengan kata lain, kesedihan semacam ini bisa menjadi bentuk kemalasan yang dibungkus perasaan religius. Padahal, hakikatnya bukan mendekatkan kepada Allah, melainkan menjauhkan. Syaikh Zarruq dalam Syarah Hikam menyampaikan bahwa orang yang benar dalam sedihnya akan segera bangkit dan mengejar amal yang terlewat. Ia menulis: "Tanda keikhlasan dalam sedih karena luputnya amal adalah segera menggantinya atau beristighfar karena kelalaiannya." Jadi, kejujuran dalam penyesalan selalu diiringi oleh tindakan nyata. Jika tidak, maka itu hanya ilusi atau rasa bangga tersembunyi yang menjebak.
Allah SWT banyak mengingatkan manusia agar tidak terjebak dalam penyesalan pasif. Sebaliknya, Islam mendorong pada perbaikan dan amal yang nyata. Allah SWT berfirman dalam QS. Ali 'Imran [3]: 135 yang artinya "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka mengingat Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka...". Ayat ini menunjukkan bahwa penyesalan yang benar adalah yang disertai dengan zikrullah dan istighfar yakni, bentuk aksi nyata untuk memperbaiki diri. Allah SWT juga berfirman dalam QS. Al-Munafiqun [63]: 10–11 yang artinya "Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menangguhkan (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh." Dan Allah tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Ayat ini menggambarkan penyesalan orang-orang munafik yang hanya muncul di akhir hayat, tanpa tindakan sebelumnya. Ini menjadi pelajaran penting agar tidak menunda amal hanya karena tenggelam dalam rasa bersalah yang pasif.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering merasa menyesal karena tidak shalat tepat waktu, tidak membaca Al-Qur’an, atau melewatkan sedekah. Namun, jika penyesalan itu hanya menjadi keluhan tanpa perubahan, maka kita sedang tertipu. Sebaliknya, penyesalan sejati adalah yang mendorong bangkit. Jika terlewat shalat malam, maka ganti dengan istighfar dan qiyam pada malam berikutnya. Jika kehilangan semangat ibadah, carilah teman-teman shalih atau majelis ilmu untuk memperbarui motivasi. Jika lalai dari tilawah, maka pasang target baru dan mulai sedikit demi sedikit. Kesimpulannya Hikmah Ibnu ‘Athoillah ini bukan sekadar peringatan, tetapi panggilan untuk bertindak. Kesedihan tanpa aksi adalah tipu daya. Sedangkan amal, betapapun kecilnya, adalah tanda kejujuran hati. Mari kita jadikan setiap penyesalan sebagai titik tolak menuju perubahan yang nyata. Karena Allah tidak melihat seberapa dalam tangisan kita, melainkan seberapa kuat langkah kita untuk kembali kepada-Nya.
Pesantren Raudhatul Irfan, 3 Agustus 2025
0 Komentar