Fikr dan Dzikr sebagai Alat Transformasi Intelektualitas dan Spiritualitas

(Tinjauan Tafsir QS Ali Imran: 190–191)

Penulis: Irfan Soleh


Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam memiliki ragam pendekatan dalam mendidik santri, mulai dari tradisional tekstual hingga pendekatan spiritual yang lebih mendalam. Pesantren Raudhatul Irfan di Ciamis adalah salah satu lembaga yang menjadikan nilai-nilai irfani sebagai pondasi utama pembinaan santri. Dalam kerangka nilai irfani, dua konsep penting yang menjadi alat transformasi spiritual adalah fikr (perenungan intelektual) dan dzikr (pengingatan batiniah kepada Allah), dimana huruf F dari IRFANI Values adalah Fikr and Dzikr as a tool. Konsep ini bersumber dari Al-Qur’an, khususnya QS Ali Imran: 190–191, yang menjadi ayat kunci dalam memahami watak Ulul Albab, yaitu manusia-manusia berakal yang tercerahkan secara spiritual. Bagaimana Pendapat para Mufassir mengenai ayat diatas?


Ibnu Katsir menjelaskan bahwa QS Ali Imron ayat 190-191 memuji orang-orang yang menggunakan akalnya untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan langit dan bumi. Mereka tidak melihat alam secara biasa, tetapi sebagai ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah). Fikr mereka bersumber dari keimanan, bukan sekadar spekulasi ilmiah. Dzikir yang mereka lakukan terus-menerus di segala kondisi menunjukkan bahwa hati mereka senantiasa hidup. Kemudian Menurut al-Qurtubi, ayat ini menunjukkan tingginya derajat orang yang menggabungkan antara penggunaan akal (‘aql) dan pengingatan hati (qalb). Ulul Albab adalah golongan yang mampu memadukan antara nalar dan spiritualitas, antara ilmu dan ibadah. Dzikr mereka bukan hanya verbal, tapi juga hadir dalam hati — yang menjadi esensi dari pendekatan irfani.


Ar-Razi menguraikan dengan panjang bahwa ayat ini adalah argumen tentang wajibnya menggunakan akal untuk mengenal Tuhan. Namun ia menegaskan bahwa akal saja tidak cukup, maka harus disertai dengan dzikr, sebagai bentuk mujahadah untuk menyucikan jiwa. Dalam pandangan ar-Razi, fikr adalah pencarian dan dzikr adalah penyaksian, dan keduanya saling melengkapi dalam perjalanan menuju Allah. Kemudian Sayyid Quthb menekankan bahwa kombinasi antara dzikr dan fikr dalam ayat ini adalah metode pendidikan ruhani Al-Qur’an. Menurutnya, dzikr menjaga hati tetap hidup, sementara fikr menjaga akal tetap tajam. Ketika manusia merenungi alam semesta, dia akan menyadari bahwa tidak ada satu pun ciptaan Allah yang sia-sia — dan dari sanalah tumbuh kesadaran akan akhirat, lalu muncullah doa perlindungan dari neraka.


Nilai-nilai irfani di Pesantren Raudhatul Irfan dibangun di atas pondasi kesatuan antara ilmu, amal, dan ma'rifat. Ayat di atas menjadi fondasi ruhani dalam proses pendidikan santri untuk tidak hanya menjadi cendekiawan, tetapi juga arif billah — orang yang mengenal Allah melalui penyaksian batin. Pesantren mendorong santri untuk mengembangkan tafakkur terhadap alam dan peristiwa kehidupan. Dalam konteks irfani, fikr tidak berhenti pada logika, tapi diarahkan menuju introspeksi jiwa (muhasabah). Santri juga dilatih untuk menjadikan dzikir sebagai aktivitas kontinu, bukan sekadar ritual. Santri Raudhatul Irfan diarahkan untuk menjadikan fikr sebagai jalan menemukan makna, dan dzikr sebagai jalan merasakan makna. Saat fikr menemukan bahwa segala sesuatu adalah ayat Allah, dzikr menjadikan temuan itu hadir di hati, melahirkan rasa cinta dan takut (khauf dan mahabbah) kepada Allah. Semoga...Amin...


Pesantren Raudhatul Irfan, Selasa 29 Juli 2025